Wa Yabqaa Wajhu Rabbika dzul Jalaali wal Ikram

Wa Yabqaa Wajhu Rabbika dzul Jalaali wal Ikram

damainya dirasa........

damainya dirasa........

21 Desember 2009

Ikhwan Sejati

Seorang remaja pria bertanya pada ibunya, ”Ibu, ceritakan padaku tentang ikhwan sejati!”
Sang Ibu tersenyum dan menjawab:
Ananda…,
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari bahunya yang kekar, tetapi dari kasih sayangnya pada orang di sekitarnya.
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari suaranya yang lantang, tetapi dari kelembutannya mengatakan kebenaran.
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari jumlah sahabat di sekitarnya, tetapi dari sikap bersahabatnya pada generasi muda bangsa.
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari bagaimana dia dihormati di tempat bekerja, tetapi bagaimana dia dihormati di dalam rumah.
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari kerasnya pukulan, tetapi dari sikap bijaknya memahami persoalan.
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari dadanya yang bidang, tetapi dari hati yang ada dibalik itu.
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari banyaknya akhwat yang memuja, tetapi komitmennya terhadap akhwat yang dicintainya.
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari jumlah barbel yang dibebankan, tetapi dari tabahnya dia menghadapi liku-liku kehidupan.
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari kerasnya membaca Al-Quran, tetapi dari konsistennya dia menjalankan apa yang ia baca.

Pelabuhan hatiku


waktu boleh berlalu
seiring dengan itu
akan ada banyak godaan hati
yang bisa mengubah rasa yang ada
jika arah berlabuh belum ditetapkan
namun, bagiku
sulit rasanya untuk mengubah haluan hatiku
karena arah kompas menunjuk pada satu titik
perahu hatiku telah tertuju pada satu pelabuhan
pelabuhan yang dinantikan
pelabuhan yang akan menghadirkan kehidupan
pelabuhan dimana kebahagiaan menjadi sumber utama
pelabuhan yang memiliki dermaga penuh kesetiaan
pelabuhan yang menjadi pemberhentian terakhir dan bahtera
perjalanan cintaku

pelabuhan itu adalah
pelabuhan hatimu

bukan rembulan terang


aku mungkin bukan rembulan yang terang
yang bisa menghibur mata yang memandang
aku memang bukan rembulan yang indah
yang bisa menghibur gelisah
tetapi aku punya cinta
seindah bulan yang bercahaya

Berikan aku kesempatan


berikan aku kesempatan untuk menyentuhmu
maka kan kusentuh hatimu
dengan kuntum bunga edelweis yang mekar di telaga hatiku
berikan aku kesempatan untuk mengenggammu
maka kan ku genggam hatimu
dengan akar pohon aok yang menjalar kuat di taman jantung hatiku
berikan aku kesempatan untuk mengenalmu
maka kan kuberi kesan pertama di hatimu
berupa lukisan pelangi
yang warna warni nya menghiasi kanvas langit
berikan aku kesempatan untuk melihatmu
maka kan kulihat hatimu
melalui hatiku
dan kan kita buat labirin cinta diantara dua hati ini
berikan aku kesempatan untuk menjagamu
maka kan ku jaga hatimu
dengan segala prajurit hatiku
yang siap berkorban dan penuh kesetiaan
melindung sahabat hati
berikan aku kesempatan untuk memilikimu
maka kan ku tempatkan hatiku
di singgasana jantung hatiku
yang dengan itu, kau kan jadi perempuan
paling bahagia di dalamnya

3 November 2009

skripsi ku


Bismillahirrahmanirrahim

PENGALOKASIAN UANG WAKAF DI MASJID
KOTA BUKITTINGGI

M U Z A K I R

1105. 026



PROGRAM STUDI AHWAL ALSYAKHSHIYYAH JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SJECH M. DJAMIL DJAMBEK BUKITTINGGI
1430 H/ 2009 M


Pembimbing
Drs. H. Muslim Mulyani
Dra. Hasneni, M. Ag

Tim Penguji Sidang Munaqasyah
Drs. H. Muslim Mulyani
H. Basri Na’ali, Lc, M. Ag
Dra. Hasneni, M. Ag
Dr. Zainuddin, MA
H. Edi Rosman, S. Ag, M. Hum


KATA PENGANTAR
Pujian dan kesyukuran adalah milik Allah, yang telah menurunkan kekuatan dan pertolonganNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini beriringan dengan selesainya pendidikan di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Kemudian salam dan shalawat selalu tersampaikan kepada Nabi Muhammad Saw yang telah memompakan semangat dan memberikan pencerahan jiwa kepada penulis melalui pri hidupnya yang agung.
Proses produksi skripsi ini tidak bisa diselesaikan tanpa bantuan berbagai pihak, terutama kepada Ayahanda Romadhi Nurrachman dan Ibunda Eliarti Rustam yang telah memfasilitasi penulis lahir ke atas dunia kemudian mendidik dengan cinta kasih agar menjadi manusia yang terbaik. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Ketua, Bapak dan Ibu Pembantu Ketua, Ibu Ketua Jurusan Syariah dan Bapak Ketua Prodi AH yang telah memberi fasilitas kepada penulis dalam menuntut ilmu di perguruan tinggi ini.
2. Bapak Drs. H. Muslim Mulyani dan Ibu Dra. Hasneni, M. Ag selaku Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak Drs. H. Fauzi Damrah dan Bapak Dr. Saiful Amin, M. Ag selaku Penasehat Akademik (PA) yang telah memantapkan penulis untuk tetap bertahan menjadi mahasiswa Syariah dan memberi dorongan untuk aktif di LDK.
4. Bapak dan Ibu Dosen Syariah dan Tarbiyah yang telah mewariskan ilmu dan pengalaman terbaiknya kepada penulis selama berada di STAIN tercinta ini.
5. Pimpinan serta Karyawan/wati Perpustakaan STAIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi yang telah menyediakan sumber belajar yang memadai bagi penulis.
6. Keluarga Besar di Maninjau, Padangpanjang, Ampang Gadang, Sungai Pua, Panampuang dan Kebumen yang telah medewasakan penulis lahir batin.
7. Keluarga Besar MTsN Padangpanjang, Ustadz/ah, Ikhwan Akhwat pejuang dakwah kampus di Indonesia, para Kakanda dan Adinda yang telah memotivasi penulis untuk tetap mempunyai target-target baru dalam hidup.
Akhirnya, hanya Allah lah yang akan memberi reward terbaik kepada semua pihak yang telah urun bantuan demi suksesnya penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat menyadarkan beberapa kekurangoptimalan penyelenggaraan ibadah wakaf di kalangan umat Islam Indonesia. Amin. Syukron Jazakumullah.
Bukittinggi, 12 Sya’ban 1430 H
03 Agustus 2009 M

ABSTRAK

Muzakir, NIM 1105.026, PENGALOKASIAN UANG WAKAF DI MASJID-MASJID DI KOTA BUKITTINGGI, Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah, Jurusan Syari’ah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi, 2009, 90 halaman.
Maksud judul skripsi ini adalah sebuah penelitian yang berusaha mengetahui potensi dan teknis pengalokasian harta wakaf berupa uang yang diterima oleh pengurus masjid di kota Bukittinggi Propinsi Sumatera Barat dan pemahaman mereka tentang wakaf.
Motivasi penulis memilih judul ini adalah wakaf merupakan salah satu instrumen penting pembangun kesejahteraan dan penyedia kebutuhan umat. Pengalokasian wakaf harus sesuai dengan fungsi dan hakikat wakaf yaitu mengekalkan manfaat suatu benda dan menyalurkannya untuk kebutuhan umat. Masyarakat Bukittinggi sudah sejak lama mengenal institusi wakaf, antara lain dalam bentuk tanah, bangunan masjid dan sekolah. Seiring perkembangan zaman, masyarakat berwakaf ke masjid dalam bentuk uang. Sementara itu, uang bukanlah benda yang kekal. Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana upaya pengurus masjid dalam hal ini sebagai nazhir dalam menylurkan atau mengalokasikan uang tersebut agar tujuan wakaf tercapai.
Penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara. Observasi dilakukan terus menerus selama penelitian berlangsung. Sementara wawancara dilakukan terhadap beberapa orang narasumber yang terdiri dari pengurus masjid yang mengelola wakaf dan menyalurkannya kemudian pejabat terkait yang berkenaan dengan nazhir wakaf yaitu kepala KUA. Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Setelah data terkumpul penulis melakukan klasifikasi dengan mengolah data kemudian dianalisa dengan metode induktif.
Setelah observasi dan wawancara dilakukan, didapat hasil bahwa potensi wakaf di masjid kota Bukittinggi cukup besar tetapi sangat tergantung pada pelaksanaan pembangunan, apabila di masjid ada pembangunan, maka jumlah wakaf yang diterima banyak, begitu juga sebaliknya.
Sementara itu, pengalokasian wakaf di masjid kota Bukittinggi terdiri dari pembangunan fisik masjid termasuk di sana untuk pembayaran upah tukang, pemenuhan sarana dan prasarana masjid, penyediaan sarana kesehatan dan pembangunan masjid lain di daerah-daerah terpencil. Mengenai pemahaman pengurus masjid tentang peruntukan wakaf masih terfokus pada penyaluran wakaf untuk pembangunan yang bersifat tetap saja.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam merupakan satu-satunya agama yang seimbang (balance), karena ajarannya mengatur manusia secara komprehensif baik dari aspek individual maupun aspek sosial. Aspek individual meliputi hubungan manusia dengan TuhanNya (hablun min Allah), yang telah dikonsep secara normatif dan sangat sedikit peluang untuk dikreasikan. Sementara itu, aspek sosial mengandung interaksi manusia dengan lingkungannya (hablun min an Nas). Aspek ini lebih luwes dan mempunyai banyak peluang untuk dikembangkan oleh manusia berdasarkan kebutuhan dengan tetap tidak menyimpang dari aturan pokok (basic rule). Islam menekankan agar manusia mampu menyeimbangkan kedua aspek ini dan menyikapinya secara proporsional agar tercapai konsep manusia ideal yaitu orang yang memiliki kesalehan pribadi dan sosial.
Salah satu ibadah mahdhah yang mengandung aspek sosial adalah wakaf. Wakaf terambil dari bahasa Arab ‘waqafa yaqifu waqfan’ﻭﻗﻒ ﻳﻘﻒ ﻭﻘﻔﺎ yang artinya ‘menahan’ atau ‘berhenti’, sedangkan dalam istilah syara’, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (kepemilikan) asal lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum.[1] Dalam Ensiklopedi Islam dijelaskan bahwa wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nazhir (penjaga wakaf), baik berupa perorangan maupun badan pengelola dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan syariat Islam.[2] Dari dua pengertian di atas dapat diambil suatu pemahaman bahwa wakaf merupakan sesuatu yang substansi (wujud aktiva)nya dipertahankan, sementara hasil dan manfaatnya digunakan sesuai dengan keinginan dari orang yang menyerahkan (waqif), yang dilandasi oleh semangat ketaatan dan keagamaan.
Al Qur’an tidak ada membahas wakaf secara khusus, namun ada indikasinya dalam Surat Ali Imran ayat 92:
`s9 (#qä9$oYs? §ŽÉ9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB šcq™6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ Ò.OŠÎ=tæ ﴿ﺍﻞ ﻋﻤﺭﺍﻦ:٩٢﴾
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. 3: 92)
Menurut Muhammad Abduh dalam Tafsir Al Manar, bahwa “ﺍﻟﺒﺭ” (kebaikan) di sini maksudnya adalah suatu pahala yang tidak dapat diperoleh manusia sebelum ia menafkahkan atau membelanjakan harta yang paling dicintai untuk mencari keredhaan Allah, termasuk diantaranya wakaf dan kalimat “ﺗﻧﻔﻘﻮﺍﻤﻣﺎﺘﺣﺑﻮﻦ” (menafkahkan sebahagian harta yang dicintai) adalah mewakafkan harta tertentu kepada orang lain dan menunjukkan bahwa diantara cara mendapatkan kebaikan itu adalah dengan menginfakkan sebagian dari harta yang dimiliki melalui sarana wakaf.[3] Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan menafkahkan harta yang dicintai dalam Surat Ali Imran: 92 di atas adalah mewakafkan harta.
Wakaf merupakan amal kebaikan yang diganjar Allah dengan pahala yang terus menerus karena dengan berwakaf seseorang telah menyisihkan sebagian hartanya dan memperuntukkannya secara khusus bagi kepentingan umum dan pelaksanaan ibadah umat Islam. Wakaf bisa berbentuk tanah, masjid, bangunan, dan sumber mata air.
Wakaf telah mulai dipraktekkan oleh masyarakat Islam sejak masa hidup Rasulullah Saw, seperti yang terekam dalam hadits di bawah ini:
ﻋﻥ ﺍﺒﻥ ﻋﻣﺭ ﺮﻀﻲ ﺍﷲ ﻋﻧﻬﻣﺎ ﺃﻦ ﻋﻤﺭ ﺒﻥ ﺍﻟﺧﻃﺎﺏ ﺃﺻﺎﺐ ﺃﺮﻀﺎ ﺒﺧﻳﺒﺭ ٫ﻓﺄﺗﻰ ﺍﻟﻨﺑﻲ ﺺ.ﻢ .ﻴﺴﺗﺄﻤﺭﻩ ﻔﻳﻬﺎ ٫ﻔﻗﺎﻞ : ﻴﺎ ﺮﺴﻭﻞ ﺍﷲ ﺇﻨﻲ ﺃﺻﺑﺕ ﺃﺮﻀﺎ ﻠﻡ ﺃﺻﺏ ﻤﺎﻻ ﻘﻃ ﺃﻨﻓﺱ ﻋﻧﺩﻱ ﻤﻧﻪ ﻔﻣﺎ ﺘﺄﻤﺭﻨﻲ ﺒﻪ؟ ﻘﺎﻞ : ﺇﻦ ﺸﺌﺕ ﺤﺑﺳﺕ ﺃﺻﻟﻬﺎ ﻔﺗﺼﺩﻔﺕ ﺒﻬﺎ ﺃﻨﻪ ﻻ ﻴﺒﺎﻉ ﻮﻻ ﻴﻭﻫﺏ ﻮﻻ ﻴﻭﺮﺚ . ﻮﺘﺻﺩ ﻕ ﺒﻬﺎ ﻔﻰ ﺍﻠﻔﻗﺭﺁﺀ ﻮﻔﻰ ﺍﻠﻗﺭﺒﻰ ﻮﻔﻰ ﺍﻠﺮﻗﺎﺐ ﻮﻔﻰ ﺴﺒﻳﻝ ﺍﷲ ﻮﺍﺒﻦ ﺍﻠﺳﺒﻳﻝ ﻮﺍﻠﺿﻳﻑ ﻻ ﺠﻨﺎﺡ ﻋﻠﻰ ﻤﻥ ﻮﻠﻳﻬﺎ ﺃﻦ ﻴﺄﻛﻝ ﻤﻧﻬﺎ ﺒﺎﻠﻤﻌﺭﻭﻒ ﻮﻴﻃﻌﻡ ﻏﻳﺮ ﻣﺗﻤﻭﻞ .﴿ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺑﺧﺎﺭﻯ ﻮﻣﺳﻠﻡ﴾[4]
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibn Umar r.a. bahwa Umar bin al Khattab r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu ia datang kepada Nabi Saw untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, saya memperoleh tanah di Khaibar, yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut, apa perintah engkau (kepadaku) mengenainya?” Nabi Saw menjawab: “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan hasilnya. Ibnu Umar berkata “maka Umar menyedekahkan tanah tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasilnya) kepada fuqara’, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil dan tamu). Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari (hasil) tanah itu secara makruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa, institusi wakaf telah ada sejak masa Rasulullah, dimana Umar bin Khattab mewakafkan tanah kesayangannya di Khaibar untuk diberikan manfaatnya kepada masyarakat umum dengan syarat pokok harta (tanah) tersebut tetap dipertahankan, tidak boleh dijual, dihibahkan dan diwariskan.
Sementara itu, wakaf juga telah diatur dalam perundang-undangan terbaru tentang perwakafan sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 41 Tahun 2004 pada pasal 1. UU tersebut mendefenisikan wakaf dengan “perbuatan wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.”[5]
Untuk sahnya wakaf seseorang, maka harus terpenuhi rukun wakaf yaitu: orang yang berwakaf (waqif), harta yang diwakafkan (mauquf), orang yang menerima wakaf (mauquf alaih), dan pernyataan wakaf (shighat).[6] Sementara itu menurut Muhammad Jawad Mughniyah, rukun wakaf ada empat macam yaitu: shighat (redaksi) wakaf, orang yang mewakafkan, barang yang diwakafkan dan orang yang menerima wakaf.[7] Adapun UU No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, mengatur bahwa wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut: Wakif, Nazhir, Harga Benda Wakaf, Ikrar Wakaf, Peruntukan Harta Benda Wakaf dan Jangka Waktu Wakaf.[8]
Salah satu rukun wakaf adalah shighat. Shighat merupakan pernyataan kehendak pemilik harta untuk mewakafkan hartanya. Pada dasarnya shighat berfungsi untuk menggugurkan hak kepemilikan wakif dan mengalihkannya menjadi milik Allah. Pernyataan ini harus jelas dan bisa dipahami bahwa maksud wakif adalah untuk berwakaf.[9]
Harta wakaf merupakan aset umat yang harus dipelihara dan diberdayakan agar konsep kemanfaatannya tetap ada sehingga diperlukan orang atau lembaga yang mengurusnya. Hal ini dikenal dengan istilah nazhir. Istilah nazhir belum dikenal oleh para fuqaha klasik karena pada dasarnya pengelolaan wakaf berada pada tangan wakif, namun untuk ketertiban administrasi dan jaminan kelangsungannya, harta wakaf boleh diserahkan kepada pengelola khusus (nazhir). Nazhir wakaf adalah orang atau badan yang memegang amanah untuk memelihara dan mengurusi harta wakaf dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan wujud dan tujuannya.
Nazhir bukanlah pemilik dari harta wakaf, melainkan ia hanya sebagai pengurus dan pemelihara harta wakaf agar asas manfaatnya tetap berlangsung. Oleh karena itu nazhir harus melaksanakan apa yang diminta oleh si wakif dalam hal pengalokasiannya dengan syarat tidak bertentangan dengan syara’.
Sementara itu, dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang pengelolaan wakaf, nazhir diartikan sebagai berikut: “Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.” Dari dua pengertian di atas dapat dipahami bahwa nazhir adalah orang atau badan hukum yang bertanggungjawab untuk menerima, memelihara, mengurus dan mengelola serta mengalokasikannya sesua dengan maksud dan niat pewakaf.
Oleh karena itu, nazhir memiliki syarat tertentu agar ia bisa melaksanakan tugasnya dengan baik, yaitu: berakal, baligh, memiliki kemampuan dan kejujuran. Namun golongan Syafi’iyyah dan kebanyakan dari golongan Imamiyyah, mensyaratkan nazhir dengan adanya sifat adil dan mempunyai keyakinan yang cukup, amanah, dipercaya serta adanya kemampuan untuk mengurusi harta wakaf tersebut dengan pengelolaan yang sempurna.[10]
Nazhir memiliki kewajiban menjaga dan mengurus harta wakaf sesuai dengan permintaan wakif, kemana dan untuk apa harta tersebut dialokasikan. Barang-barang yang diwakafkan itu dilaksanakan seperti yang diinginkan pewakafnya. Namun bila tidak diketahui maksud pewakaf, maka kebiasaan umumlah yang mesti diikuti.[11]
Sementara itu, berdasarkan observasi awal (preliminary research) penulis di kota Bukittinggi yang memiliki penduduk +94.350 jiwa dengan komposisi 97,14 % beragama Islam[12] telah berkembang pesat pelaksanaan wakaf dalam bentuk uang yang disalurkan untuk pembangunan masjid, dimana waqif kadang menerangkan peruntukannya kepada pengurus dan terkadang tidak. Di samping itu, masjid-masjid tersebut banyak menyediakan kotak (celengan) yang bertuliskan “wakaf”. Hal ini bisa dimaklumi dengan semakin meningkatnya kesadaran beragama masyarakat, ditambah lagi kondisi perekonomian penduduk yang sebagian besarnya terdiri dari pedagang dan pengusaha.
Potensi wakaf berbentuk uang yang diniatkan wakif untuk biaya pembangunan masjid di kota Bukittinggi ini cukup besar dan memerlukan manajemen penanganan yang professional oleh pengurus masjid (nazhir). Sebagai contoh, dalam wawancara penulis dengan Bapak H. Syahril M, bendahara Masjid Raya Kota Bukittinggi, didapat informasi bahwa pada bulan Oktober dan November tahun 2008, wakaf berbentuk uang terkumpul sebanyak Rp. 14.771.500,-.[13] Jumlah ini cukup menggembirakan dan menandakan tingginya minat masyarakat untuk berwakaf. Sedangkan di Masjid Nurul Ikhlas Pasar Sayur Aur Kuning, wakaf yang diterima dalam sebulan rata-rata sebanyak Rp. 3.000.000,- ( jika dikalkulasikan dalam setahun bisa mencapai kira-kira Rp 40 juta).[14] Di dua masjid ini harta wakaf tersebut dipisahkan dengan sedekah dan pemasukan lain dan pengalokasiannya difokuskan kepada pembangunan fisik masjid dan pemenuhan sarana operasional masjid.
Di samping itu, penulis menemukan di Masjid Tablighiyah bahwa uang yang diwakafkan oleh masyarakat selain untuk keperluan pembelian material bangunan juga dialokasikan untuk membayar upah tukang dan membayar tagihan listrik.[15] Hal ini juga penulis temui di Masjid Al-Wustha Ganting[16] dan Masjid Nurul Ikhlas Pasar Sayur.[17]
Berdasarkan permasalahan menarik di atas, maka penulis merasa termotivasi untuk meneliti dan menuangkannya dalam skripsi yang berjudul “PENGALOKASIAN UANG WAKAF DI MASJID-MASJID DI KOTA BUKITTINGGI.”
B. Rumusan Masalah
Untuk mengarahkan masalah ini, maka penulis perlu memberikan rumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana potensi wakaf berbentuk uang di masjid-masjid di kota Bukittinggi?
b. Bagaimana tata cara masyarakat berwakaf?
c. Bagaimana pengalokasian wakaf berbentuk uang di masjid-masjid di kota Bukittinggi?
d. Bagaimana pemahaman nazhir tentang wakaf?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
mengetahui potensi wakaf berbentuk uang di masjid-masjid di kota Bukittinggi
mengetahui tata cara masyarakat berwakaf
mengetahui pengalokasian wakaf berbentuk uang di masjid-masjid di kota Bukittinggi
mengetahui pemahaman nazhir tentang wakaf.
2. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna untuk:
melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada program studi Ahwal al Syakhshiyyah jurusan Syari’ah.
menambah wawasan dan kemampuan penulis dalam menulis karya ilmiah.
sebagai sumbangan pemikiran dan kontribusi penulis untuk pembaca dan masyarakat.
D. Penjelasan Judul
Untuk menghindari salah pemahaman terhadap judul skripsi ini, maka penulis merasa perlu menjelaskan beberapa kata yang terdapat dalam judul sebagai berikut:
Pengalokasian adalah proses atau cara penentuan banyaknya barang yang disediakan untuk suatu tempat; penjatahan.[18] Maksud penulis di sini adalah pengalokasian atau penyaluran wakaf berbentuk uang yang terkumpul di masjid-masjid di Bukittinggi.
Wakaf adalah menghentikan perpindahan hak milik atas suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama dengan cara menyerahkan harta itu kepada pengelola, baik perorangan, keluarga, maupun lembaga untuk digunakan bagi kepentingan umum di jalan Allah.[19] Maksud penulis di sini adalah harta wakaf berbentuk uang yang ditujukan untuk pembangunan masjid.
Bukittinggi adalah sebuah kota sejuk di jantung pulau Sumatera yang terletak antara 100,210-100,250 BT dan antara 00,76-00,190 LS, dengan luas wilayah +25 km¬¬2.[20]
Jadi, maksud judul secara keseluruhan dalam skripsi ini adalah sebuah penelitian yang berusaha mengetahui potensi dan teknis pengalokasian harta wakaf berupa uang yang diterima oleh pengurus masjid di kota Bukittinggi Propinsi Sumatera Barat dan pemahaman mereka tentang wakaf.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan sifat deskriptif analitis, yakni menggambarkan sesuatu apa adanya kemudian menganalisisnya. Penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu tetapi hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel, gejala atau keadaan.[21]
Di sini penulis akan berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa dan kejadian yang terdapat pada saat melakukan penelitian di lokasi dengan apa adanya tanpa campur tangan pihak lain.
Dari penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan bagaimana potensi dan pengalokasian wakaf berbentuk uang di masjid-masjid di kota Bukittinggi dan pemahaman nazhir tentang wakaf.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di masjid-masjid di kota Bukittinggi yang memisahkan pengelolaan wakaf dengan pemasukan dana yang lainnya. Adapun alasan penulis mengambil lokasi tersebut sebagai tempat penelitian karena di sana ditemukan permasalahan yang perlu dibahas yaitu potensi dan pengalokasian wakaf berbentuk uang di masjid di kota Bukittinggi.
3. Teknik Pengumpulan Data
Sebagaimana lazimnya, setiap karya ilmiah memerlukan data yang akurat dan tepat sehingga keberadaannya dapat diterima secara ilmiah. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research), maka penulis menggunakan beberapa metode sbb;
Observasi, adalah teknik pengumpulan data dimana peneliti mengadakan pengamatan langsung maupun tidak langsung terhadap gejala-gejala yang diteliti.[22] Penulis mengumpulkan data dengan memperhatikan dan mengamati permasalahan langsung ke lapangan.
Wawancara, adalah pengumpulan data berbentuk pertanyaan secara lisan dan pertanyaan yang diajukan dalam wawancara itu telah dipersiapkan secara tuntas dilengkapi dengan instrumennya.[23] Wawancara merupakan percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan orang yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Jenis wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur atau terpimpin. Penulis mewawancarai responden dengan menetapkan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan terlebih dahulu.
4. Populasi dan Sampel
Populasi, adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri yang sama.[24] Dalam arti yang lebih khusus populasi adalah keseluruhan dari objek yang akan diteliti. Dalam penelitian ini populasinya sebanyak 43 orang pengurus masjid (jumlah masjid di kota Bukittinggi 43 buah[25]).
Sampel, adalah perwakilan dari populasi yang akan diteliti. Penulis menggunakan sampel dengan metode purposive sampling yaitu teknik sampling yang digunakan peneliti jika peneliti mempunyai pertimbangan tertentu di dalam pengambilan sampelnya.[26] Elemen-elemen yang dipilih dianggap representatif dari keseluruhan populasi dengan indikator bahwa masjid tersebut memiliki jamaah yang cukup banyak dan memisahkan pengalokasian wakaf dengan pemasukan lainnya seperti sedekah. Sampel yang penulis ambil berjumlah 5 buah masjid. Diharapkan keseluruhan sampel ini bisa mewakili dan dapat memberikan data yang akurat.
5. Teknik Analisa Data
Setelah data dikumpulkan dari lapangan dengan lengkap, maka data tersebut diolah dan dianalisa dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Editing, yaitu proses memeriksa kembali semua data yang telah dihimpun.
b. Interpretasi data yaitu memberikan penafsiran dari data yang ada.
Setelah data tersebut diolah dengan langkah-langkah di atas kemudian dianalisis dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Induktif, yaitu berangkat dari fakta-fakta yang khusus seperti peristiwa konkrit kemudian ditarik generalisasi yang umum.[27]
b. Deduktif, yaitu pembahasan yang bertitik tolak dari keterangan dan pengetahuan yang bersifat umum kemudian mengarah kepada hal-hal yang bersifat khusus.[28]
c. Komparatif, yaitu mencari pemecahan suatu masalah melalui analisa terhadap faktor tertentu yang dihubungkan dengan situasi atau fenomena yang diselidiki dan membandingkan antara satu faktor dengan faktor yang lain.[29]
Proses analisa data akan difokuskan pada teknik induktif, karena penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Dalam artian penulis membuat gambaran umum yang didapat dari fakta-fakta khusus di lapangan. Jadi hasil observasi dan wawancara akan dirumuskan secara objektif dan proporsional menjadi gambaran umum yang cukup representatif untuk mendeskripsikan tentang pengalokasian uang wakaf di masjid-masjid.
6. Teknik Penulisan
Penulis membuat skripsi ini berpedoman kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi STAIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi, terbitan 1999.
F. Sistematika Penulisan
Agar skripsi ini lebih terarah dan mudah dipahami, maka penulis membuat sistematika sebagai berikut:
BAB I pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penjelasan judul, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II perwakafan dalam Islam. Bab ini berisi landasan teori yang akan menguraikan tentang pengertian wakaf, dasar hukumnya, macam-macam wakaf, syarat dan rukun wakaf, peruntukan wakaf, nazir wakaf dan hikmah wakaf.
BAB III hasil penelitian. Pembahasan dalam bab ini akan mengungkap monografi kota Bukittinggi, potensi wakaf berbentuk uang di masjid-masjid di kota Bukittinggi, dan pengalokasian harta wakaf berbentuk uang di masjid-masjid di kota Bukittinggi serta pemahaman nazhir tentang wakaf.
BAB IV penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran atau rekomendasi. Di sini akan dijelaskan bagaimana sebenarnya potensi wakaf dalam bentuk uang yang diterima oleh masjid-masjid di kota Bukittinggi, dan pengalokasian harta wakaf itu sendiri serta pemahaman mereka terhadap wakaf. Agar lebih berdaya guna penulis menyertakan saran-saran konstruktif untuk perbaikan ke depan dan rekomendasi kepada pihak yang berwenang.
[1] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, [terj.], (Jakarta: Lentera, 2000), h. 635
[2] Tim Penyusun Ensiklopedi, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Cet ke-3, h. 981
[3] Departemen Agama, Ilmu Fiqh III, (Jakarta: Dirjen Lembaga Islam, 1986), Jilid III, h. 207
[4] Muhammad Ali al-Syaukani, Nail al-Authar, (Beirut: Bil Tuba’ah, 1926), h. 127
[5] Undang-Undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Team Media, 2005), h. 164
[6] Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1988), h. 91
[7] Muhammad Jawad al-Mughniyah, Ahwal al-Syakhshiyyah, (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin, ), h. 640
[8] Pasal 6 UU No 41 Tahun 2004
[9] Muhammad Dawud Ali, op. cit., h. 87
[10] Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, (Beirut: Darul Ilmi Lil Malayin, 1964), h. 323
[11] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, op. cit., h. 651
[12] Data Kantor Layanan Terpadu Kota Bukittinggi
[13] Wawancara Pribadi Penulis dengan Bapak Syahril M. (bendahara Masjid Raya), tanggal 6 Januari 2009
[14] Wawancara Pribadi Penulis dengan Bapak Yanto (pengurus Masjid Nurul Ikhlas), tanggal 6 Januari 2009
[15] Wawancara Pribadi dengan Bapak Lasmi (bendahara I Masjid Tablighiyah) tanggal 31 Maret 2009
[16] Wawancara Pribadi dengan Bapak Adrizal, S. Pd. I (pengurus Masjid Al-Wustha) tanggal 31 Maret 2009
[17] Wawancara Pribadi Penulis dengan Bapak Yanto (pengurus Masjid Nurul Ikhlas), tanggal 6 Januari 2009
[18] Departemem Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahas Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 32
[19] Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994) h. 168
[20] http://www.bukittinggikota.or.id/ Tanggal akses 24 Desember 2008
[21] Suharsini Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), Cet ke 9, h. 234
[22] Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000) h. 63
[23] Anas Sudjana, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000) h. 27
[24] Bambang Sunggoro, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 121
[25] Pusat Data MUI kota Bukittinggi
[26] Suharsini Arikunto, op. cit., h. 97
[27] Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Jogjakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1987), h. 42
[28] Ibid, h. 36
[29] Winarno Surachman, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar dan Metode Teknik, (Bandung: Tarsita, 1980), h. 143

BAB II
PERWAKAFAN DALAM ISLAM
A. Pengertian Wakaf
Wakaf adalah bentuk mashdar (infinitive noun) dari kalimat ﻭﻗﻒ ﻳﻘﻒ ﻭﻗﻔﺎ waqafa yaqifu waqfan. Dalam bentuk ini ia berpola fi’il muta’addy (kata kerja yang membutuhkan objek), maka maknanya adalah “auqafasy syai’a” (menghentikan sesuatu). Apabila dikatakan dalam bahasa Arab “waqafa”, yang maksudnya berhenti dari berjalan, maka bentuknya adalah fi’il lazim yang mashdarnya adalah ﻭﻗﻮﻑ wuquuf.[1] Oleh karena itu, dalam skripsi ini penulis menggunakan kalimat wakaf dengan pola fi’il muta’addi.
Untuk memahami makna wakaf secara utuh, dapat ditinjau dari dua sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang etimologi dan kedua dari sudut pandang terminologi. Pengertian wakaf dari segi etimologi (bahasa) dapat dilihat dari beberapa defenisi yang diberikan oleh para ulama, di antaranya:
1. Menurut Sayyid Sabiq,
ﺃﻠﻮﻘﻑ ﻔﻰ ﺍﻠﻠﻐﺔ: ﺃﻠﺣﺑﺱ ﻴﻘﺎﻞ ﻮﻗﻑ ﻴﻘﻑ ﻮﻗﻔﺎ ﺃﻱ ﺤﺒﺱ ﻴﺣﺑﺱ ﺣﺒﺳﺎ[2]
“Wakaf dari segi bahasa adalah menahan. Dikatakan orang: waqafa yaqifu waqfan artinya habasa yahbisu habsan.”
2. Menurut Muhammad Jawad al-Mughniyah,
ﺃﻠﻮﻘﻑ ﻔﻰ ﺍﻠﻠﻐﺔ ﺃﻠﺣﺒﺱ ﻮﺍﻠﻤﻨﻊ[3]
“Wakaf menurut bahasa berarti menahan atau menghalangi.”
3. Menurut Kamus Al Munjid fi al-Lughah,
Kata-kata wakaf (ﻭﻗﻔﺎ) merupakan kata jadian (mashdar) dari kata kerja ﻭﻗﻑ, secara bahasa diartikan dengan:
ﻭﻗﻑ ﺍﻠﺪﺍﺭ ﺣﺴﺒﻬﺎ ﻓﻰ ﺴﺒﻴﻝ ﺍﷲ[4]
“Wakaf adalah menahan di jalan Allah.”
4. Menurut Wahbah al-Zuhaily,
ﻭﻗﻑ ﻟﻐﺔ ﺃﻟﺣﺒﺲ ﻋﻦ ﺍﻟﺘﺻﺮﻑ[5]
“Wakaf menurut bahasa berarti menahan dari mentasharrufkan.”
5. Menurut Muhammad bin Ismail al-Kahlani,
ﺃﻠﻮﻘﻑ ﻠﻐﺔ: ﺃﻠﺣﺑﺱ ﻴﻘﺎﻞ ﻭﻗﻔﺖ ﻛﺬﺍ ﺃﻱ ﺣﺒﺳﺘﻪ[6]
“Wakaf secara bahasa artinya menahan. Dikatakan: saya mewakafkan seperti ini artinya saya menahannya.”
Dari beberapa arti lughawi di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa wakaf secara bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu waqafa yaqifu waqfan yang semakna dengan habasa yahbisu habsan yang berarti menahan, mencegah dan menghalangi harta di jalan Allah.
Selanjutnya, penulis akan mengemukakan pengertian wakaf dari aspek terminologi. Ada beberapa pendapat ulama mengenai hal ini, di antaranya:
1. Menurut Syihabuddin al-Qalyubi,
ﺣﺒﺱ ﻣﺎﻞ ﻳﻤﻛﻥ ﺍﻹﻧﺗﻔﺎﻉ ﺑﻪ ﻣﻊ ﺑﻘﺎﺀ ﻋﻴﻨﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺻﺭﻑ ﻣﺑﺎﺡ[7]
“Menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya serta kekal zatnya melalui tindakan-tindakan yang dibolehkan.”
2. Menurut Muhammad bin Ali al-Syaukani,
ﺣﺒﺱ ﻣﻠﻙ ﻓﻰ ﺴﺑﻴﻝ ﺍﷲ ﺘﻌﺎﻠﻰ ﻠﻠﻔﻘﺭﺍﺀ ﻭﺍﺑﻥ ﺍﻟﺳﺑﻴﻝ ﻳﺼﺭﻑ ﻋﻟﻴﻬﻡ ﻣﻨﺎﻓﻌﻪ ﻭﻳﺒﻘﻰ ﺃﺻﻟﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻤﻠﻙ ﺍﻠﻭﺍﻗﻒ[8]
“Menahan harta milik di jalan Allah Ta’ala untuk fuqara’ dan ibnu sabil yang diserahkan manfaatnya kepada mereka dan asal benda tersebut tetap menjadi milik wakif.”
3. Menurut Sayyid Sabiq,
ﺃﻠﻭﻗﻒ ﺤﺒﺲ ﺍﻷﺻﻞ ﻭﺗﺴﺒﻴﻝ ﺍﻠﺛﻤﺮﺓ ﺃﻱ ﺤﺒﺲ ﺍﻠﻤﺎﻞ ﻭﺻﺭﻑ ﻣﻨﺎﻓﻌﻪ ﻓﻰ ﺴﺒﻴﻞ ﺍﷲ[9]
“Wakaf adalah menahan asal (pokok) dan menyerahkan hasilnya artinya menahan harta dan memberdayakan manfaatnya untuk jalan Allah.”
4. Menurut Muhammad Jawad al-Mughniyyah,
ﻧﻮﻉ ﻣﻥ ﺍﻠﻌﻃﻴﺔ ﻳﻌﻨﻲ ﻳﺘﺣﺒﺲ ﺍﻷﺻﻞ ﻭﺍﻹﻃﻼﻕ ﺍﻟﻤﻨﻔﻌﺔ ﻭﻣﻌﻨﻰ ﺗﺣﺒﻴﺲ ﺍﻷﺼﻝ ﺍﻠﻤﻧﻊ ﻋﻥ ﺍﻹﺭﺙ ﻭﺍﻠﺗﺻﺭﻑ ﻔﻰ ﺍﻠﻌﻳﻦ ﺍﻠﻤﻭﻗﻮﻓﺔ ﺑﺎﻟﺑﻳﻊ ﺃﻮ ﺍﻟﻬﺑﺔ ﺃﻮ ﺍﻟﺮﻫﻥ ﺃﻮ ﺍﻹﺠﺎﺭﺓ ﻭﺍﻻﻋﺎﺭﺓ ﻭﻣﺎ ﺇﻟﻰ ﺫﻟﻚ ﺃﻣﺎ ﺗﺴﺑﻳﻼ ﻟﻤﻧﻔﻌﺔ ﻓﻬﻭ ﺼﺭﻓﻬﺎ ﻋﻟﻰ ﺟﻬﺔ ﺍﻟﺗﻲ ﻋﻳﻧﻬﺎ ﻭﻗﻒ ﻣﻥ ﺩﻮﻦ ﻋﻭﺽ[10]
“Sejenis pemberian dengan menahan asal dan melepaskan manfaatnya. Menahan asal maksudnya terlarang seseorang untuk mewariskan dan bertindak hukum pada benda yang diwakafkan dengan cara; menjual, menghibahkan, menggadaikan, menyewakan atau meminjamkan dsb. Adapun mengalirkan manfaat yaitu mengelola harta itu sesuai dengan yang telah ditentukan oleh si waqif tanpa adanya imbalan.”
5. Menurut Ali bin Muhammad al-Jurjani,
ﻭﻓﻰ ﺍﻟﺷﺮﻉ ﺣﺒﺲ ﺍﻟﻌﻴﻦ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻤﻠﻙ ﺍﻟﻮﺍﻗﻒ ﻭﺗﺻﺩﻕ ﺑﺎﻟﻤﻨﻔﻌﺔ[11]
“Menurut syara’, wakaf adalah menahan zat dari suatu benda dari hak kepemilikan wakif dan menggunakan hasilnya untuk hal yang bermanfaat.”
6. Menurut Ibrahim al-Bajuri,
ﺣﺒﺲ ﻤﺎﻝ ﻣﻌﻴﻦ ﻗﺎﺑﻞ ﻠﻟﻨﻘﻞ ﻳﻤﻛﻦ ﺍﻹﻧﺗﻔﺎﻉ ﺑﻪ ﻣﻊ ﺑﻘﺎﺀ ﻋﻳﻨﻪ ﻭﻗﻃﻊ ﺍﻟﺗﺻﺭﻒ ﻓﻳﻪ ﻋﻟﻰ ﺃﻥ ﻳﺻﺭﻑ ﻓﻰ ﺟﻬﺔ ﺧﻳﺭ ﺗﻘﺭﺒﺎ ﺇﻟﻰ ﺍﷲ ﺘﻌﺎﻟﻰ[12]
“Menahan harta tertentu yang bisa berpindah tempat yang hanya diambil manfaatnya dari harta tersebut dengan membiarkan bendanya dan meninggalkannya pada jalan kebaikan semata-semata untuk mendekatkan diri pada Allah.”
Dari beberapa defenisi para fuqaha’ di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya wakaf adalah sebuah ibadah mahdhah yang berdimensi sosial yang dilakukan dengan cara menahan suatu harta benda yang kekal zatnya dan dapat dimanfaatkan untuk jalan kebaikan dalam upaya pendekatan diri pada Allah. Ciri utama wakaf yang membedakannya dengan ibadah pemberian lain adalah ketika wakaf ditunaikan terjadi pergeseran kepemilikan pribadi menuju kepemilikan Allah yang diharapkan abadi dan mampu memberikan manfaat yang berkelanjutan.
Sementara itu, di Indonesia terdapat beberapa produk hukum yang mengatur masalah perwakafan. Dalam peraturan tersebut juga terdapat pengertian wakaf. Beberapa peraturan itu di antaranya:
1. PP No 28 Tahun 1977
“Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.”[13]
2. Kompilasi Hukum Islam Buku III
“Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.”[14]
3. UU No 41 Tahun 2004
“Wakaf adalah perbuatan wakif untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.” [15]
Dalam Peraturan Pemerintah No 28 tahun 1977 di atas pengertian wakaf dibatasi dengan wakaf tanah milik saja dan dalam KHI disempurnakan lagi menjadi wakaf kepemilikan benda yang lebih luas, tidak terbatas hanya pada tanah. Sementara itu dalam UU No. 41 Tahun 2004 pengertian wakaf lebih sempurna lagi, dimana wakaf tidak hanya diperuntukkan kepada kepentingan ibadah tetapi juga kesejahteraan umum. Di samping itu, dalam UU tersebut juga diatur jangka waktu wakaf, bisa selama-lamanya dan bisa pula dalam jangka waktu tertentu saja.
B. Dasar Hukum Wakaf
Al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan sumber hukum utama dalam Islam. Ibadah mahdhah yang dilakukan umat Islam harus memiliki landasan hukum dan ketentuan yang berasal dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Begitu juga dengan ibadah wakaf.
Di dalam Al-Qur’an tidak dicantumkan kata-kata dan ketentuan tentang wakaf secara tegas, namun ada indikasinya dalam ayat-ayat berikut ini:
1. Surat Al-Hajj: 77,
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qãèŸ2ö‘$# (#r߉àfó™$#ur (#r߉ç6ôã$#ur öNä3¬/u‘ (#qè=yèøù$#ur uŽö�y‚ø9$# öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè?
“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS. Al-Hajj: 77)

Ayat di atas menerangkan bahwa orang-orang yang beriman diperintahkan Allah untuk beribdah dan berbuat kebaikan. Sarana untuk berbuat baik itu sangat banyak, salah satu diantaranya adalah dengan cara menafkahkan harta dalam bentuk wakaf.
2. Surat An-Nahl: 97,
ô`tB Ÿ@ÏJtã $[sÎ=»¹ `ÏiB @�Ÿ2sŒ ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB m¨Zt�Í‹ósãZn=sù Zo4qu‹ym Zpt6ÍhŠsÛ ( óOßg¨YtƒÌ“ôfuZs9ur Nèdt�ô_r& Ç`¡ômr'Î/ $tB (#qçR$Ÿ2 tbqè=yJ÷ètƒ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sungguh akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl: 97)
Ayat di atas memerintahkan orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan untuk berbuat baik agar mendapatkan kemenangan dan balasan pahala dari Allah. Di antara jalan-jalan kebaikan yang disediakan Allah bagi manusia adalah menafkahkan harta yang dicintainya di jalan Allah.
3. Surat Ali Imran: 92,
`s9 (#qä9$oYs? §ŽÉ9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB šcq™6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOŠÎ=tæ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Ali Imran: 92)
Ayat di atas menerangkan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai kebaikan yang sempurna sehingga ia mampu menafkahkan harta yang dicintainya dan Allah mengetahui apapun yang dinafkahkan oleh seseorang.
Asbabun Nuzul surat Ali Imran ayat 92 di atas adalah adanya kisah seorang sahabat yang dengan kesadaran pribadi menyerahkan harta yang bernilai ekonomis kepada Nabi Saw untuk dipergunakan bagi kepentingan agama, sebagaimana dalam kutipan di bawah ini:
“Abu Talhah adalah salah seorang sahabat Anshar yang terkaya di Madinah. Sedangkan harta kekayaan yang paling dicintai dan disayanginya adalah tanah Bairuha dan sengaja akan dijariahkan. Pada suatu wakatu turunlah ayat ke 92 ini, sehingga dengan penuh kesadaran tanah itu diserahkannya kepada Rasulullah untuk kepentingan agama. Padahal tanah itu berada dekat masjid dan airnya banyak sekali. Alhasil turunya ayat ini dimaksudkan untuk memberi pancingan kepada para sahabat untuk banyak berderma mengikuti jejak Abu Talhah.” (HR. Ahmad dari Rauh dari Malik dari Ishak bin Abdillah dari Anas bin Malik)[16]
Muhammad Abduh menafsirkan kalimat “al-birru” dengan:
ﺃﻟﻤﺮﺍﺩ ﻫﻨﺎ ﺍﻠﺬﻱ ﻻ ﻳﻧﺎﻟﻪ ﺍﻟﻤﺮﺀ ﺃﻱ ﻴﺼﻳﺑﻪ ﻭﻳﺪﺭﻛﻪ ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﺃﻨﻔﻖ ﻤﻣﺎ ﯿﺣﺐ[17]
“Maksudnya adalah suatu pahala yang tidak dapat dicapai seseorang sebelum ia menafkahkan harta yang dicintainya.”
Sementara itu Muhammad al-Syaukani menafsirkan ayat di atas dengan:
ﻟﻦ ﺗﻧﺎﻝ ﺍﻠﻌﻤﻞ ﺍﻠﺼﺎﻠﺢ ﺃﻭ ﺍﻟﺟﻧﺔ ﺃﻱ ﺘﺼﻟﻮﺍ ﺇﻠﻰ ﺫﻠﻚ ﻭﺘﺒﻠﻐﻮﺍ ﺇﻟﻴﻪ ﺤﺗﻰ ﺗﻧﻔﻘﻮﺍ ﻣﻤﺎ ﺗﺣﺒﻮﻦ ﺃﻱ ﺤﺗﻰ ﺘﻛﻮﻦ ﻧﻔﻘﺗﻜﻡ ﻣﻦ ﺃﻣﻮﺍﻟﻜﻡ ﺍﻟﺗﻲ ﺗﺣﺑﻮﻧﻬﺎ[18]
“Kamu sekali-kali tidak akan mencapai dan sampai pada kebaktian kepada Allah yaitu berupa pahala dan surga hingga kamu menafkahkan harta yang kamu cintai artinya harta-harta yang kamu sayangi.”
Dari penjelasan ayat dan tafsiran ulama di atas dapat dipahami bahwa perintah berbuat baik dalam bentuk menafkahkan harta yang dicintai sangat dianjurkan dalam Islam. Salah satu bentuk menafkahkan harta tersebut adalah wakaf.
Selanjutnya dalam Sunnah Nabi terdapat beberapa hadits yang menerangkan tentang ketentuan dan aturan teknis wakaf, di antaranya:
Hadits Ibnu Umar Ra,
ﻋﻥ ﺍﺒﻥ ﻋﻣﺭ ﺮﻀﻲ ﺍﷲ ﻋﻧﻬﻣﺎ ﺃﻦ ﻋﻤﺭ ﺒﻥ ﺍﻟﺧﻃﺎﺏ ﺃﺻﺎﺐ ﺃﺮﻀﺎ ﺒﺧﻳﺒﺭ ٫ﻓﺄﺗﻰ ﺍﻟﻨﺑﻲ ﺺ.ﻢ .ﻴﺴﺗﺄﻤﺭﻩ ﻔﻳﻬﺎ ٫ﻔﻗﺎﻞ : ﻴﺎ ﺮﺴﻭﻞ ﺍﷲ ﺇﻨﻲ ﺃﺻﺑﺕ ﺃﺮﻀﺎ ﻠﻡ ﺃﺻﺏ ﻤﺎﻻ ﻘﻃ ﺃﻨﻓﺱ ﻋﻧﺩﻱ ﻤﻧﻪ ﻔﻣﺎ ﺘﺄﻤﺭﻨﻲ ﺒﻪ؟ ﻘﺎﻞ : ﺇﻦ ﺸﺌﺕ ﺤﺑﺳﺕ ﺃﺻﻟﻬﺎ ﻔﺗﺼﺩﻗﺕ ﺒﻬﺎ ﺃﻨﻪ ﻻ ﻴﺒﺎﻉ ﻮﻻ ﻴﻭﻫﺏ ﻮﻻ ﻴﻭﺮﺚ . ﻮﺘﺻﺩ ﻕ ﺒﻬﺎ ﻔﻰ ﺍﻠﻔﻗﺭﺁﺀ ﻮﻔﻰ ﺍﻠﻗﺭﺒﻰ ﻮﻔﻰ ﺍﻠﺮﻗﺎﺐ ﻮﻔﻰ ﺴﺒﻳﻝ ﺍﷲ ﻮﺍﺒﻦ ﺍﻠﺳﺒﻳﻝ ﻮﺍﻠﺿﻳﻑ ﻻ ﺠﻨﺎﺡ ﻋﻠﻰ ﻤﻥ ﻮﻠﻳﻬﺎ ﺃﻦ ﻴﺄﻛﻝ ﻤﻧﻬﺎ ﺒﺎﻠﻤﻌﺭﻭﻒ ﻮﻴﻃﻌﻡ ﻏﻳﺮ ﻣﺗﻤﻭﻞ .﴿ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺑﺧﺎﺭﻯ ﻮﻣﺳﻠﻡ﴾[19]
“Diriwayatkan dari Ibn Umar r.a. bahwa Umar bin al Khattab r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu ia datang kepada Nabi Saw untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, saya memperoleh tanah di Khaibar, yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut, apa perintah engkau (kepadaku) mengenainya?” Nabi Saw menjawab: “Jika engkau mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan hasilnya. Ibnu Umar berkata “maka Umar menyedekahkan tanah tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasilnya) kepada fuqara’, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari (hasil) tanah itu secara makruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas menerangkan bahwa Nabi menganjurkan Umar untuk menyedekahkan hartanya dengan catatan:
a) Tanah itu tetap ditahan pokoknya dengan cara tidak boleh diwariskan, dijual maupun diberikan kepada orang lain
b) Manfaat tanah itu dialirkan atau disalurkan untuk kepentingan umum seperti memberi makan orang fakir miskin
c) ¬Pengelola tanah itu boleh mengambil bagiannya dengan cara yang wajar dan proporsional.
Hadits Abu Hurairah ra,
ﻋﻦ ﺃﺑﻰ ﻫﺮﻴﺮﺓ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺹ.ﻡ. ﻣﻦ ﺍﺤﺗﺑﺲ ﻓﺮﺳﺎ ﻔﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﷲ ﺇﻴﻣﺎﻧﺎ ﻭﺍﺤﺗﺴﺎﺑﺎ ﻓﺈﻥ ﺷﺒﻌﻪ ﻭﺭﻭﺛﻪ ﻭﺒﻮﻟﻪ ﻔﻲ ﻣﻴﺰﺍﻧﻪ ﻳﻮﻡ ﺍﻠﻘﻳﺎﻣﺔ ﺤﺴﻧﺎﺕ ﴿ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺧﺎﺭﻯ﴾[20]
“Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw telah bersabda: “Barang siapa yang menahan kudanya(untuk dipersiapkan) dalam perjuangan di jalan Allah dengan penuh keimanan dan perhitungan, maka makanannya, kotorannya dan kencingnya nanti ditimbang pada hari kiamat sebagai kebaikan.” (HR. Ahmad dan Bukhari)
Hadits di atas memberikan gambaran bahwa seseorang mewakafkan kudanya untuk keperluan agama Allah, maka dia akan mendapatkan ganjaran kebaikan di akhirat nanti, tentunya tindakan tersebut dilandasi dengan keimanan dan keikhlasan.
Hadits Abu Hurairah ra,
ﻋﻦ ﺃﺑﻰ ﻫﺮﻴﺮﺓ ﺃﻥ ﺍﻠﻧﺒﻲ ﺹ.ﻡ. ﻗﺎﻝ ﺇﺫﺍ ﻣﺎﺕ ﺍﺑﻦ ﺁﺩﻡ ﺇﻧﻘﻁﻊ ﻋﻣﻟﻪ ﺇﻻ ﻣﻦ ﺛﻼﺙ ﺼﺪﻗﺔ ﺟﺎﺭﻴﺔ ﺃﻭ ﻋﻠﻢ ﻴﻧﺗﻔﻊ ﺒﻪ ﺃﻭ ﻭﻟﺪ ﺼﺎﻟﺢ ﻳﺪﻋﻮ ﻠﻪ ﴿ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺳﻠﻢ﴾[21]
“Dari Abu Hurairah Ra, Sesungguhnya Nabi Saw telah bersabda: “Apabila seorang manusia meninggal, maka terputuslah seluruh amalannya kecuali tiga hal yaitu: (1) Sedekah Jariyah (2) Ilmu yang bermanfaat dan (3) Anak shaleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Para ulama memahami maksud dari shadaqah jariyah itu adalah wakaf karena orang yang berwakaf akan mendapatkan pahala yang tak putus-putusnya selama harta wakaf itu masih dipakai oleh orang untuk kepentingan ibadah dan kesejahteraan umum walaupun dia sudah meninggal dunia.
C. Rukun dan Syarat Wakaf
1. Rukun Wakaf
Rukun artinya sudut, tiang penyangga yang merupakan sendi utama atau unsur pokok dalam pembentukan suatu hal. Tanpa ada rukun sesuatu itu tidak akan tegak berdiri.[22] Begitu pula dengan rukun-rukun wakaf yang menentukan sah atau tidaknya suatu ibadah wakaf. Mengenai rukun wakaf terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha’, di antaranya:
Menurut Muhammad Jawad al-Mughniyah,
ﺃﺭﻛﺎﻥ ﺍﻟﻭﻗﻒ ﺃﺭﺒﻌﺔ ﻫﻭ ﺍﻟﺻﻴﻐﺔ ﻭﺍﻟﻭﺍﻗﻒ ﻭﺍﻟﻌﻴﻥ ﺍﻟﻤﻮﻗﻮﻑ ﻭﺍﻟﻤﻮﻗﻮﻑ ﻋﻟﻳﻪ[23]
"Rukun wakaf ada empat yaitu; shighat, wakif, benda yang diwakafkan dan yang menerima wakaf.”
Menurut Al-Bajuri,
ﻭﺃﺭﻛﺎﻧﻪ ﺃﺭﺒﻌﺔ ﻭﺍﻗﻒ ﻭﻤﻮﻗﻮﻑ ﻋﻟﻳﻪ ﻭﻤﻮﻗﻮﻑ ﻭﺻﻴﻐﺔ[24]
“Rukun wakaf itu ada empat macam yaitu; pewakaf, orang yang menerima wakaf, barang yang diwakafkan dan shighat.”
Menurut Abdul Hamid Hakim,
ﺃﺭﻛﺎﻥ ﺍﻷﻭﻝ ﻭﺍﻗﻒ ﺃﻠﺛﺎﻨﻲ ﻤﻮﻗﻮﻑ ﺃﻟﺛﺎﻟﺙ ﻤﻮﻗﻮﻑ ﻋﻟﻳﻪ ﺃﻠﺮﺍﺑﻊ ﺻﻴﻐﺔ ﻮﺗﻧﻘﺴﻢ ﺇﻠﻰ ﺍﻠﺼﺭﻳﺢ ﻭﺍﻠﻛﻧﺎﻳﺔ[25]
“Rukun wakaf yang pertama adalah pewakaf. Kedua, benda yang diwakafkan. Ketiga, penerima wakaf. Keempat, shighat yang terbagi ke dalam dua bentuk: terang dan sindiran.”
Menurut Muhammad Dawud Ali,
Unsur-unsur pembentukan wakaf yang juga merupakan rukun wakaf adalah (1) orang yang berwakaf. (2) harta yang diwakafkan atau mauquf. (3) tujuan wakaf atau yang berhak menerima wakaf disebut mauquf alaih dan (4) pernyataan wakif yang disebut dengan shighat atau ikrar wakaf.[26]
Dari beberapa defenisi yang diberikan dapat penulis ambil kesimpulan bahwa rukun wakaf ada empat macam yaitu:
Waqif yaitu orang yang mewakafkan harta
Mauquf yaitu benda atau harta yang diwakafkan
Mauquf Alaih yaitu orang yang menerima wakaf
¬Shighat yaitu redaksi atau pengucapan lafaz wakaf.

2. Syarat Wakaf
Sah atau tidaknya ibadah wakaf tidak cukup dengan adanya rukun wakaf saja, tetapi perlu adanya syarat yang mengiringi setiap rukun wakaf seperti yang telah penulis sebutkan di atas. Berikut ini syarat-syarat wakaf:
Syarat Pewakaf (waqif)
1) Menurut Wahbah al-Zuhaily,
Syarat wakif ada 4 yaitu: (1) merdeka dan sebagai pemilik; tidak sah wakaf seorang budak karena dia tidak menguasai harta; tidak sah juga wakaf orang yang bodoh dan berhutang. (2) berakal; wakaf orang gila tidak dapat diterima karena dia dalam keadaan kurang akal, sedangkan, orang yang berwakaf dikehendaki sempurna karena ia akan melaksanakan tindakan hukum. (3) baligh; wakaf anak-anak tidak bisa diterima karena belum mumayyiz. (4) cerdas.[27]

2) Menurut Sayyid Abubakar al-Manshuri,
ﻭﺸﺮﻁ ﺍﻠﻭﺍﻗﻒ ﺃﻫﻟﻴﺔ ﺍﻟﺗﺑﺭﻉ ﻓﻼ ﻳﺻﺢ ﻭﻗﻒ ﺍﻟﻤﺟﻨﻮﻥ ﻭﺍﻟﺻﺑﻲ ﻭﺍﻟﻤﻛﺭﻩ ﻭﺍﻟﻤﺣﺟﻭﺭﻋﻟﻴﻪ ﻮﺍﻟﻤﻛﺎﺗﺐ[28]
“Syarat bagi waqif adalah: cakap untuk bertindak hukum. Oleh karena itu tidak sah berwakaf bagi orang gila, anak-anak, orang yang terpaksa, orang yang dipenjara atau budak.”
3) Menurut Abu Bakar al-Jaziry,
ﻭﻳﺸﺗﺮﻄ ﻓﻲ ﺼﺣﺔ ﺍﻟﻮﻗﻒ ﻣﺎ ﻳﻟﻰ ﺃﻥ ﻴﻛﻮﻥ ﺍﻟﻮﺍﻗﻒ ﺃﻫﻝ ﺍﻟﺗﺒﺮﻉ ﺒﺄﻥ ﻴﻛﻮﻥ ﺭﺸﺩﺍ ﻣﻠﻛﺎ[29]
“Disyaratkan untuk sahnya suatu wakaf bahwa pewakaf haruslah cakap hukum dengan ketentuan bahwa dia cerdas dan memiliki benda yang akan diwakafkan.”
Dari beberapa pendapat ulama di atas, maka dapat penulis ambil kesimpulan bahwa syarat wakif di antaranya adalah orang baligh berakal, merdeka dan memiliki benda yang akan diwakafkan secara sah serta mampu bertindak hukum.
Syarat orang yang menerima wakaf (Mauquf ‘alaih)
1) Menurut Muhammad Jawad al-Mughniyah,
ﻭﻳﺸﺘﺭﻃ ﻓﻴﻪ ﻣﺎ ﻴﻠﻲ ﺃﻥ ﻳﻛﻮﻦ ﻣﻮﺟﻮﺩﺍ ﻋﻧﺩ ﺍﻠﻮﻗﻒ ﺃﻥ ﻳﻛﻮﻦ ﺃﻫﻼ ﻠﻟﺘﻤﻠﻚ ﻭﻻ ﻳﻛﻮﻦ ﻣﻌﺼﻴﺔ ﺇﻟﻰ ﺍﷲ ﺘﻌﺎﻠﻰ ﺃﻥ ﻳﻛﻮﻦ ﻣﻌﻴﻨﺎ ﻏﻳﺮ ﻣﺟﻬﻮﻝ[30]
Disyaratkan mauquf alaih: orang tersebut ada pada waktu terjadinya wakaf, cakap untuk memiliki, tidak untuk bermaksiat pada Allah, orang yang menerima wakaf jelas dan tidak dikeragui.
2) Menurut Said Abubakar al-Mansyuri,
ﻭﺸﺮﻃ ﺍﻠﻤﻮﻗﻮﻑ ﻋﻠﻴﻪ ﺇﻦ ﻛﺎﻦ ﻤﻌﻳﻧﺎ ﺇﻤﻛﺎﻦ ﺘﻤﻠﻛﻪ ﻠﻟﻤﻮﻗﻮﻒ ﺤﺎﻝ ﺍﻠﻭﻗﻒ ﻋﻟﻴﻪ ﻓﻼ ﻴﺼﺢ ﺍﻠﻮﻗﻒ ﻋﻠﻰ ﺠﻨﻴﻦ ﻟﻌﺪﻢ ﺼﺣﺔ ﺗﻤﻠﻜﻪ ﻭﻻ ﻭﻗﻒ ﻋﺑﺩ ﻤﺴﻠﻢ ﺃﻭ ﻤﺻﺤﻒ ﻜﺎﻓﺭ[31]
Mauquf alaih disyaratkan bahwa secara nyata mampu memiliki barang wakaf ketika diwakafkan. Oleh karena itu, tidak sah berwakaf kepada janin sebab ia tidak sah memiliki, begitu juga dengan berwakaf kepada seorang budak Muslim atau mewakafkan mushaf kepada orang kafir.
Berdasarkan pendapat di atas maka penulis menyimpulkan bahwa orang yang menerima wakaf disyaratkan harus jelas orangnya, mampu bertindak hokum dan mampu memiliki benda.
Syarat Benda yang Diwakafkan (Mauquf)
1) Menurut Said Abubakar al-Mansyuri,
ﻭﺷﺮﻃ ﺍﻟﻤﻮﻗﻮﻑ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﻴﻨﺎ ﻣﻤﻠﻮﻜﺔ ﺇﻟﻰ ﺁﺧﺮ[32]
Syarat mauquf adalah barangnya dapat dimiliki.
2) Menurut Sayyid Sabiq,
“Sah wakaf itu adalah dari sesuatu yang boleh diambil manfaatnya, utuh bendanya sebagaimana terdahulu dan tidak boleh mewakafkan benda yang rusak bila dimanfaatkan seperti; uang, lilin, makanan, minuman dan apa yang yang cepat habis seperti; harum-haruman, tumbuhan aromatik, sebab ia cepat rusak. Dan tidak di perbolehkan juga mewakafkan apa yang terlarang memperjualbelikan seperti barang titipan, anjing, babi dan binatang buas lainya.”[33]
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa barang yang akan diwakafkan tersebut disyaratkan harus dapat dimiliki, mempunyai manfaat, tidak cepat habis ketika dipakai dan tidak termasuk barang yang terlarang.
Syarat Shighat
1) Menurut Said Abubakar al-Mansyuri,
ﻭﺷﺮﻃ ﺍﻟﺼﻴﻐﺔ ﻟﻔﻆ ﻳﺸﻌﺮ ﺑﺎﻟﻤﺮﺍﺩ ﺻﺮﻴﺤﺎ ﻛﻮﻗﻔﺖ ﻭﺳﺒﻠﺖ ﻭﺣﺒﺴﺖ ﻛﺬﺍ ﻋﻠﻰ ﻛﺬﺍ ﻭﻛﻨﺎﻳﺔ ﻛﺤﺮﻣﺖ ﻭﺃﺑﺪﺕ ﻫﺬﺍ ﻟﻠﻔﻘﺮﺁﺀ ﻭﻛﺘﺼﺪﻗﺖ ﺑﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﻘﺮﺁﺀ[34]
Adapun syarat shighat adalah lafaz (pernyataan)nya menunjukkan maksud wakaf, baik secara sharih (tegas) seperti: waqoftu (saya wakafkan), sabbaltu (saya alirkan manfaatnya), dan habastu (saya tahan) kadza ala kadza, maupun secara kinayah (tidak tegas) seperti: harromtu (saya haramkan), abbadtu (saya abadikan) hadza ala al-fuqara’ dan tashaddaqtu (saya sedekahkan) bihi ‘ala al-fuqara’.
2) Menurut Sayyid Sabiq,
“Apabila wakif menunjukkan sesuatu yang menunjukkan wakaf atau mengucapkan kata-kata wakaf, maka tetaplah wakaf itu dengan syarat-syarat orang yang berwakaf itu cakap, yakni, sempurna akalnya, baligh, merdeka dan tidak terpaksa.”[35]

Shighat atau redaksi wakaf disyaratkan harus mengandung maksud untuk mewakafkan harta baik secara jelas (sharih) seperti lafazh: waqoftu, habastu, dan sabbaltu, maupun secara sindiran (kinayah) seperti lafazh: harromtu, abbadtu dan tashaddaqtu. Lafazh kinayah harus disertai niat (berwakaf) atau diikuti dengan salah salah satu dari kelima lafazh wakaf atau hukum wakaf.[36]
Dari beberapa pendapat ulama dan analisa penulis di atas dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat wakaf itu adalah:
1) Wakif haruslah orang yang merdeka, mampu bertindak hukum bagi dirinya dan harta yang dimilikinya dalam artian bahwa wakif adalah orang yang telah baligh, berakal dan cerdas serta berwakaf bukan atas paksaan orang lain.
2) Harta atau benda yang diwakafkan adalah harta yang jelas kepemilikannya dan dapat dimanfaatkan dengan tidak menghilangkan pokok dari harta tersebut dan tidak boleh mewakafkan harta yang cepat habis ketika dipakai.
3) Wakaf tidak boleh melanggar dan bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh Allah.
4) Wakaf tidak boleh dicabut karena apabila telah terjadi wakaf dan penyerahan pada saat akad atau shighat, maka hak wakif tidak ada lagi terhadap harta tersebut disebabkan kepemilikannya telah berpindah menjadi milik Allah dan tidak boleh dipindahtangankan kepada orang lain ataupun badan hukum.
D. Macam-macam Wakaf
Secara umum wakaf dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yakni wakaf ahliy dan wakaf khairiy atau zurriy. Dalam Fiqh Sunnah, Sayid Sabiq menulis:
ﻭﺍﻠﻮﻗﻒ ﺃﺣﻴﺎﻧﺎ ﻳﻛﻮﻥ ﺍﻠﻮﻗﻒ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺣﻔﺎﺩ ﺃﻭ ﺍﻷﻗﺎﺭﺏ ﻭﻣﻦ ﺑﻌﺪﻫﻡ ﺇﻠﻰ ﺍﻠﻔﻘﺮﺁﺀ ﻭﻳﺴﻤﻰ ﻫﺬﺍ ﺒﺎﻠﻮﻗﻒ ﺍﻷﻫﻠﻲ ﺃﻭ ﺍﻠﺬﺭﻱ ﻭﺃﺤﻴﺎﻧﺎ ﻴﮑﻮﻥ ﺍﻠﻮﻗﻒ ﻋﻠﻰ ﺃﺑﻮﺍﺏ ﺍﻠﺧﻴﺮ ﺍﺒﺗﺪﺍﺀ ﻭﻴﺴﻤﻰ ﺒﺎﻠﻮﻗﻒ ﺍﻠﺨﻳﺭﻱ[37]
“Wakaf itu adakalanya untuk anak cucu atau kaum kerabat dan kemudian setelah mereka itu untuk orang fakir miskin. Wakaf yang demikian itu dinamakan wakaf ahliy atau wakaf dzurriy. Dan terkadang pula wakaf itu diperuntukkan bagi kebaikan semata-semata. Wakaf yang demikian itu dinamakan wakaf khairiy.”
Untuk mengetahuinya lebih lanjut, penulis akan mengemukakan bentuk-bentuk tersebut:
1. Wakaf Ahliy
Wakaf Ahliy adalah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seseorang atau lebih. Wakaf seperti ini dipandang sah dan orang yang berhak mengambil manfaatnya adalah orang-orang yang telah ditunjuk dalam pernyataan wakaf.
Dasar hukum wakaf ahliy adalah hadits dari Anas berikut:
ﻋﻥ ﺃﻧﺲ ﺃﻥ ﺃﺑﺎ ﻂﻟﺣﺔ ﻗﺎﻝ ﻳﺎ ﺭﺳﻭﻝ ﺍﷲ ﺇﻥ ﺍﷲ ﻳﻘﻮﻞ ﻟﻦ ﺗﻧﺎﻟﻮﺍ ﺍﻟﺒﺮ ﺣﺘﻰ ﺗﻧﻔﻘﻮﺍ ﻣﻤﺎ ﺘﺣﺑﻮﻥ ﻭﺍﻥ ﺃﺣﺏ ﺃﻣﻭﺍﻟﻲ ﺇﻟﻰ ﺑﻳﺭﺤﺎﺀ ﻭﺇﻧﻬﺎ ﺻﺪﻗﺔ ﺍﷲ ﻭﺃﺭﺟﻮﺍ ﺑﺮﻫﺎ ﻭﺫﺧﺮﻫﺎ ﻋﻨﺪ ﺍﷲ ﻓﻀﻌﻬﺎ ﻳﺎ ﺭﺴﻮﻞ ﺍﷲ ﺤﻴﺚ ﺃﺭﺁﻙ ﺍﷲ ﻓﻘﺎﻞ ﺑﺦ ﺑﺦ ﺫﻟﻚ ﻣﺎﻞ ﺭﺍﺑﺢ ﻣﺮﺗﯿﻦ ﻭﻗﺪ ﺴﻣﻌﺖ ﻭ ﺃﺭﻯ ﺃﻥ ﺘﺟﻌﻠﻬﺎ ﻓﻰ ﺍﻷﻗﺭﺑﻴﻦ ﻓﻘﺎﻞ ﺃﺑﻮ ﻃﻠﺣﺔ ﺍﻓﻌﻞ ﻳﺎ ﺮﺴﻮﻞ ﺍﷲ ﻓﻘﺴﻤﻬﺎ ﻓﻲ ﺃﻗﺎﺭﺑﺔ ﻭ ﺑﻧﻲ ﻋﻤﻪ ﴿ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺗﻔﻖ ﻋﻟﻴﻪ﴾
Dari Anas berkata: Ya Rasulullah sesungguhnya Allah Swt berfirman: “Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaikan yang sempurna hingga kamu menafkahkan harta yang kamu cintai…” Sedangkan harta yang paling aku cintai adalah tanah di Bairuha’ dan akan aku sedekahkan (wakafkan) karena Allah yang aku harap kebaikan dan pahalaNya. Maka tentulah itu sebagaiman yang engkau sarankan. Rasulullah bersabda: Bagus, bagus, tanah itu adalah harta yang sangat bernilai ekonomis. Nabi mengulanginya dua kali. Sungguh aku telah mendengar dan aku berpendapat hendaknay harta itu engkau sedekahkan untuk kaum kerabat. Abu Thalhah setuju sambil berkata: Saya lakukan ya Rasulullah. Lalu dia membagikannya untuk para kerabat. (HR. Muttafaq Alaih)
Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa Abu Thalhah telah mempraktekkan wakaf sesuai dengan anjuran Nabi yaitu untuk karib kerabat dan anak pamannya yang bernama Hasan bin tsabit dan Ubay bin Ka’ab, sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Nail al-Authar berikut ini:
ﺇﻧﻲ ﺠﻌﻠﺖ ﺃﺭﺿﺎ ﺑﻳﺭﺤﺎﺀ ﷲ ﻓﻗﺎﻝ ﺍﺟﻌﻟﻬﺎ ﻓﻲ ﻗﺭﺑﺘﻙ ﻗﺎﻝ ﻓﺠﻌﻠﻬﺎ ﻓﻲ ﺣﺴﻦ ﺑﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﻭ ﺃﺑﻲ ﺒﻥ ﻜﻌﺐ ﴿ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺤﻤﺩ ﻭﻤﺴﻠﻢ﴾
“Sesungguhnya aku jadikan kebun Bairuha’ itu untuk Allah. Nabi bersabda: Jadikanlah kebun itu untuk karib kerabatmu. Anas berkata berkata: Abu Thalhah menjadikan kebun itu untuk Hasan bin Tsabit dan Ubay bin Ka’ab. (HR. Ahmad dan Muslim)
Melihat hadits di atas, nampaklah bahwa wakaf ahliy atau wakaf keluarga sudah diperbuat oleh umat Islam terdahulu dan hal itu berlangsung atas petunjuk Nabi Saw.
2. Wakaf Khairiy
Wakaf Khairiy adalah wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan umum tanpa dikhususkan untuk orang tertentu. Memperhatikan prinsip dasar dari wakaf sebagai sarana memperoleh manfaat yang terus menerus tanpa menggerus habis pokok harta, maka wakaf khairiy adalah bentuk wakaf yang paling ideal karena dapat memberikan manfaat yang berkesinambungan terhadap kepentingan umum. Wakaf khairiy bisa berbentuk masjid, rumah sakit, madrasah, pemakaman dan tanah lapang.
Pada masa Rasulullah wakaf khairiy sudah ada seperti halnya wakaf ahliy, sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:
ﻋﻦ ﺃﻧﺱ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻧﻪ ﻗﺎﻝ ﻟﻣﺎ ﻗﺪﻡ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺹ.ﻡ. ﺍﻟﻤﺪﻳﻧﺔ ﻭﺃﻣﺭ ﺑﻧﺎﺀ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﻗﺎﻞ ﻳﺎ ﺑﻧﻲ ﺍﻟﻧﺠﺎﺭ ﺗﺄﻣﻧﻮﻧﻲ ﺑﺣﺎﺋﻃﻛﻢ ﻫﺫﺍ ﻓﻘﺎﻝ ﻭﺍﷲ ﻻ ﻧﻁﻠﺐ ﺛﻣﻨﻪ ﺇﻻ ﺇﻟﻰ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﺄﺧﺬﻩ ﻓﺑﻨﺂﺀﻩ ﻣﺴﺟﺪﺍ ﴿ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻠﺑﺧﺎﺭﻯ ﻭﺍﻟﺗﺮﻣﺫﻯ ﻭﺍﻠﻧﺴﺂﺌﻰ﴾
“Dari Anas berkata: Ketika Nabi dating ke Madinah, beliau memerintahkan untuk membangun Masjid. Beliau bersabda: Wahai Bani Najjar tentukanlah harga kebun ini. Mereka menjawab: Demi Allah kami tidak akan meminta harganya kecuali pada Allah. Maka Nabi mengambilnya dan membangunnya menjadi masjid.” (HR. Bukhari, Tirmidzi dan Nasa’i)
Dari hadits di atas dapat diketahui bahwa Bani Najjar hanya akan meminta harga tanah yang diminta Nabi kepada Allah karena Allah yang berhak memberi pahala ibadah wakaf ini. Hal ini berarti mereka bermaksud mewakafkan tanah tersebut sepenuhnya di jalan Allah untuk kepentingan umum dan agama.


E. Fungsi dan Peruntukan Wakaf
Wakaf merupakan salah satu ibadah yang pahalanya tidak akan putus-putus sepanjang manfaat harta yang diwakafkan itu masih dapat diambil, meskipun wakif telah meninggal dunia. Oleh sebab itu wakaf tergolong ke dalam amal jariyah yang mengalir pahalanya sebagaimana hadits Nabi Saw:
ﻋﻦ ﺃﺑﻰ ﻫﺮﻴﺮﺓ ﺃﻥ ﺍﻠﻧﺒﻲ ﺹ.ﻡ. ﻗﺎﻝ ﺇﺫﺍ ﻣﺎﺕ ﺍﺑﻦ ﺁﺩﻡ ﺇﻧﻘﻁﻊ ﻋﻣﻟﻪ ﺇﻻ ﻣﻦ ﺛﻼﺙ ﺼﺪﻗﺔ ﺟﺎﺭﻴﺔ ﺃﻭ ﻋﻠﻢ ﻴﻧﺗﻔﻊ ﺒﻪ ﺃﻭ ﻭﻟﺪ ﺼﺎﻟﺢ ﻳﺪﻋﻮ ﻠﻪ ﴿ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺳﻠﻢ﴾[38]
“Dari Abu Hurairah Ra, Sesungguhnya Nabi Saw telah bersabda: Apabila seorang manusia meninggal, maka terputuslah seluruh amalannya kecuali tiga hal yaitu: (1) Sedekah Jariyah (2) Ilmu yang bermanfaat dan (3) Anak shaleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Wakaf berfungsi untuk mengekalkan manfaat suatu benda sehingga dapat digunakan dalam jangka waktu yang panjang.
Wakaf diperuntukkan bagi pemenuhan kepentingan ibadah umat Islam dan umum. Wakaf hendaknya diperuntukkan kepada kebaikan. Setiap kebaikan yang dilakukan harus dilandasi oleh keinginan untuk mendekatkan diri pada Allah. Imam Ahmad mengatakan: “Aku tidak mengetahui hakikat wakaf melainkan dilakukan untuk mengharap wajah Allah karena Umar Ra berwakaf untuk bertaqarrub kepada Allah.”[39] Contoh kebaikan adalah seperti masjid, jembatan, rumah sakit dan menolong orang miskin.[40]
F. Nazhir Wakaf
Salah satu unsur yang tidak bisa terlepas dari wakaf adalah nazhir. Meskipun dalam kitab-kitab fikih klasik tidak ditempatkan sebagai rukun, namun posisinya sangatlah penting dan dibutuhkan karena nazhir adalah orang atau badan hukum yang diserahi tugas dalam memanfaatkan harta wakaf. Keberhasilan dalam pemanfaatan harta wakaf akan lebih besar apabila berada di tangan nazhir yang memiliki kemampuan dan profesionalitas.
Dalam praktek sahabat Umar bin Khattab takkala mewakafkan tanahnya, ia sendirilah yang bertindak sebagai nadzir semasa hidupnya. Sepeninggalnya, pengelolaan wakaf diserahkan kepada putrinya Hafsah. Setelah itu ditangani oleh Abdullah bin Umar, kemudian keluarga Umar yang lain, dan seterusnya berdasarkan wasiat Umar. Hal ini membuktikan bahwa nadzir sangat diperlukan bagi berhasilnya tujuan wakaf.[41]
Dalam Islam pada prinsipnya pengelolaan harta wakaf berada di tangan wakif, namun agar lebih tepat sasaran pemanfaatannya maka boleh diserahkan kepada orang lain atau lembaga khusus yang mengelolanya. Sebagaimana diketahui asas wakaf adalah asas manfaat. Oleh karena itu agar wakaf tetap berdayaguna sebaik mungkin maka diperlukan orang-orang yang bertindak mengurus dan memeliharanya. Secara bahasa nazhir dikemukakan oleh Abu Louis al-Makluf dalam al-Munjid:
ﺍﻟﻧﺎﻆﺮ ﺝ ﻨﻅﺎﺭ‎ : ﻣﻥ ﺗﻮﻟﻰ ﺇﺪﺍﺭﺓ ﺃﻣﺮ
Nazhir atau nuzhhar adalah orang yang mengelola administrasi suatu urusan.

Sementara itu, dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang pengelolaan wakaf, nazhir diartikan sebagai berikut: “Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Undang-undang di atas memasukkan nazhir sebagai rukun atau unsur wakaf sebagaimana terdapat dalam pasal 6 yang berbunyi: wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut: Wakif, Nazhir, Harga Benda Wakaf, Ikrar Wakaf, Peruntukan Harta Benda Wakaf dan Jangka Waktu Wakaf.[42]
Nazhir memiliki kewajiban menjaga dan mengurus harta wakaf sesuai dengan permintaan wakif, kemana dan untuk apa harta tersebut dialokasikan. Barang-barang yang diwakafkan itu dilaksanakan seperti yang diinginkan pewakafnya. Namun bila tidak diketahui maksud pewakaf, maka kebiasaan umumlah yang mesti diikuti.[43]
Nazhir bukanlah pemilik dari harta wakaf, melainkan ia hanya sebagai pengurus dan pemelihara harta wakaf agar asas manfaatnya tetap berlangsung. Oleh karena itu nazhir harus melaksanakan apa yang diminta oleh si wakif dalam hal pengalokasiannya dengan syarat tidak bertentangan dengan syara’.
Syarat-syarat Nazhir
Nazhir memiliki syarat tertentu agar ia bisa melaksanakan tugasnya dengan baik, yaitu: berakal, baligh, memiliki kemampuan dan kejujuran. Namun golongan Syafi’iyyah dan kebanyakan dari golongan Imamiyyah, mensyaratkan nazhir dengan adanya sifat adil dan mempunyai keyakinan yang cukup, amanah, dipercaya serta adanya kemampuan untuk mengurusi harta wakaf tersebut dengan pengelolaan yang sempurna.[44]
Jalaluddin al-Mahally memberikan syarat nazhir dengan:
ﻭﺷﺮﻄ ﺍﻠﻨﺎﻅﺮ ﺍﻠﻌﺪﻞ ﻭﺍﻟﮑﻔﺎﻳﺔ ﻭﺍﻻﻗﺗﺪﺁﺀ ﺇﻠﻰ ﺍﻠﺗﺼﺮﻒ[45]
“Syarat nazhir adalah adil, professional dan cakap hukum”
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nazhir harus memiliki syarat adil, professional di bidangnya dan mampu bertindak hukum. Syarat di atas sangat diperlukan karena posisinya sebagai orang yang dipercaya untuk mengurus harta wakaf.
Selain itu, perundang-undangan di Indonesia juga membicarakan persyaratan menjadi nazhir. Nadzir wakaf ini dapat dilaksanakan oleh perorangan maupun organisasi. Setiap orang atau organisasi yang ingin menjadi pengelola wakaf harus memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditetapkan dalam pasal 10 Undang-undang tentang wakaf ini yaitu:
a. Warga Negara Indonesia;
b. Beragama Islam;
c. Dewasa;
d. Sehat jasmani dan rohani; dan
e. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Sedangkan organisasi yang ingin menjadi nadzir wakaf harus memenuhi persyaratan :
a. Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nadzir perorangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1); dan
b. Organisasi yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, kemasyarakatan, dan/ atau keagamaan Islam.
Badan Hukum yang akan menjadi nadzir harus memenuhi persyaratan:
a. Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengam peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
b. Badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, kemasyarakatan, dan/ atau keagamaan Islam.
Kewenangan dan Hak Nazhir
1. Menurut Jalaluddin al-Mahally,
ﻭﻭﻇﻳﻔﺗﻪ ﺍﻠﻌﻣﺎﺭﺓ ﻭﺍﻹﺠﺎﺭﺓ ﻭﺗﺣﺻﻳﻞ ﺍﻟﺨﺎﻟﺔ ﻭﻗﺳﻣﻬﺎ ﻋﻟﻰ ﻣﺴﺗﺤﻘﻬﺎ[46]
“Kewenangan nazhir adalah mengembangkan, menyewakan dan menghasilkan keuntungan serta mendistribusikan kepada orang yang berhak.”
2. Menurut Syamsuddin Muhammad,
ﻭﻭﻇﻳﻔﺗﻪ ﻋﻧﺪ ﺍﻹﻄﻼﻕ ﺣﻔﻅ ﺍﻷﺻﻮﻞ ﻭﺍﻟﺧﺎﻟﺔ ﻋﻠﻰ ﻭﺠﻪ ﺍﻹﺤﺘﻳﺎﻂ ﻭﺍﻹﺠﺎﺭﺓ ﻭﺍﻠﻌﻤﺎﺭﺓ ﻭﺗﺣﺼﻳﻞ ﺍﻟﺧﺎﻠﺔ ﻭﻗﺳﻤﻬﺎ
“Secara umum kewaiban nazhir wakaf adalah memelihara pokok harta dengan hati-hati dan sebaik mungkin, menyewakan, mengembangkan dan menghasilkan keuntungan dan mendistribusikannya.”
Nazhir wakaf berwenang melakukan segala tindakan yang mendatangkan kebaikan bagi harta wakaf bersangkutan dengan tetap memperhatikan syarat-syarat yang mungkin telah ditentukan oleh wakif. Bila harta wakaf berupa tanah pertanian misalnya, nazhir berhak menanaminya sendiri, memebeli dan mengerjakan hal-hal yang perlu untuk menanaminya. Boleh juga menyewakan kepada orang lain dan membagikan hasil yang diperoleh kepada orang yang berhak menerimanya.[47]
Sementara itu, di dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang perwakafan, pada pasal 11 disebutkan bahwa nazhir mempunyai tugas: melakukan pengadministrasian benda wakaf; mengelola dan mengembangkan benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya; mengawasi dan melindungi harta benda wakaf; melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
Sebagai pemegang amanat, pada dasarnya nazhir tidak dibebani resiko yang terjadi atas harta wakaf, kecuali apabila kerusakan itu terjadi karena kelalaian atau bahkan kesengajaannya. Besarnya kerusakan atau kerugian karena kelalaian atau kesengajaan nazhir ditentukan oelh pengadilan atau pemerintah yang berwenang.[48] Jadi apabila kerusakan terjadi disebabkan oleh pribadi nazhir, maka ia berkewajiban untuk menggantinya kembali. Sebaliknya apabila kerusakan harta wakaf terjadi karena faktor yang berasal dari luar pengawasan nazhir, maka tidak ada kewajiban bagi nazhir untuk menggantinya.
Di samping memiliki kewajiban, nazhir juga memperoleh hak yang bisa diterimanya selama ia menjalankan tugasnya dengan baik. Hak tersebut adalah mendapatkan bagian dari hasil pengelolaan harta wakaf dalam jumlah yang wajar dan tidak berlebih-lebihan, sebagaimana hadits Umar,
ﻻ ﺠﻨﺎﺡ ﻋﻠﻰ ﻤﻥ ﻮﻠﻳﻬﺎ ﺃﻦ ﻴﺄﻛﻝ ﻤﻧﻬﺎ ﺒﺎﻠﻤﻌﺭﻭﻒ ﻮﻴﻃﻌﻡ ﻏﻳﺮ ﻣﺗﻤﻭﻞ .﴿ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺑﺧﺎﺭﻯ ﻮﻣﺳﻠﻡ﴾[49]
“Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari (hasil) tanah itu secara makruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sementara itu, UU Wakaf juga menerangkan bahwa nadzir berhak menerima imbalan yang sesuai dengan usahanya sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 12, yaitu dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, nadzir dapat menerima fasilitas dan/ atau penghasilan atas hasil pengelolaan dan pengembangan benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen).
G. Hikmah Wakaf
Setiap ibadah yang diperintahkan Allah kepada hambaNya pasti mempunyai hikmah dan nilai filosofis tersendiri, akan tetapi manusia tidak bisa mencapainya dengan sempurna karena keterbatasannya. Begitu juga dengan ibadah wakaf, terdapat hikmah-hikmah yang sangat besar artinya dalam kehidupan manusia.
Ibadah berdimensi sosial adalah jenis ibadah yang lebih berorientasi pada habl min al-nas, hubungan manusia dengan lingkungannya, atau biasa juga disebut dengan kesalehan sosial. Hal ini satu paket dalam kesempurnaan ibadah seorang hamba di samping kesalehan dalam ibadah vertikal, habl min Allah. Keduanya ibarat dua keping mata uang yang tak terpisahkan.
Wakaf sebagai ibadah yang berdimensi sosial mempunyai derajat khusus, karena ia mempunyai manfaat yang besar bagi kemajuan umat. Maka suatu hal wajar apabila wakaf disamakan statusnya dengan ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang mendoakan orang tuanya. Itulah keistimewaan wakaf, yang tidak dimiliki amal ibadah lain. Wakaf adalah bentuk amal jariah yang pahalanya akan terus mengalir hingga hari akhir, meski orangnya telah tutup usia
Menurut Ali Muhammad Al-Jurjani dalam buku Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh, hikmah wakaf adalah,
ﺣﮑﻤﺔ ﺍﻠﻮﻗﻒ ﻣﻦ ﺃﺠﻝ ﺍﻠﺣﮑﻢ ﻭﻧﻌﻤﺗﻬﺎ ﺍﻠﻌﺎﺋﺪﺓ ﻋﻟﻰ ﺍﻠﻮﻗﻒ ﻋﻠﻳﻪ ﻣﻦ ﺃﻋﻅﻢ ﺍﻠﻧﻌﻢ ﺇﻥ ﺍﻠﻔﻘﺮﺁﺀ ﻣﻧﻬﻢ ﻋﺎﺠﺰﻭﻥ ﻋﻦ ﺍﻠﮑﺳﺐ ﺍﻣﺎ ﺍﻠﺼﻐﻳﺮ ﺃﻭ ﺍﻟﻀﻌﻴﻒ ﻭﺍﻟﻘﻮﻱ ﻠﻣﺮﺾ ﺃﻭ ﻏﻳﺮ ﻣﺮﺽ ﻛﺎﻠﻧﺳﺂﺀ ﺍﻟﻼﺘﻲ ﻻ ﻗﺪﺭﺓ ﻟﻬﻦ ﻋﻠﻰ ﻣﺑﺎﺸﺮﺓ ﺍﻠﺤﺮﻑ ﻭﺍﻟﺻﻧﺎﺋﻊ ﻭﻏﻴﺮ ﺫﻠﻚ ﻣﻦ ﺃﻋﻤﺎﻝ ﺍﻠﺮﺠﺎﻞ[50]
“Hikmah wakaf itu adalah nikmat yang sangat utama, kembali kepada orang yang menerima wakaf yaitu orang-orang fakir, lemah dalam berusaha, adakalanya anka-anak atau orang yang lemah karena sakit dan lainnya, seperti wanita yang tidak punya tenaga untuk ikut berusaha di pabrik dan perusahaan.”
Wakaf merupakan sarana tepat untuk meringankan beban orang yang tidak mampu, orang yang lemah dan orang miskin dalam skala yang besar karena pada prinsipnya manfaat wakaf harus dikekalkan dan dikelola agar menghasilkan keuntungan. Keuntungan inilah yang disalurkan kepada orang yang membutuhkan.
Selanjutnya Al-Jurjawi melanjutkan dengan:
ﻭﻳﻜﻮﻦ ﻠﻟﻮﺍﻗﻒ ﺃﺠﺮﺍﻥ ﺃﺠﺮ ﻣﻧﻊ ﺗﻁﺮﻖ ﺍﻠﻔﻘﺮ ﺇﻠﻰ ﺍﻠﺬﺭﻴﺔ ﻭﺃﺠﺮ ﺍﻠﻤﺤﺎﻓﻆﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﺻﺪﺭ ﺍﻠﺗﺮﻭﺓ ﻣﻦ ﺍﻠﺿﻳﺎﻉ ﻭﻫﺬﺍﻥ ﺍﻷﺠﺮﺍﻥ ﻻ ﻳﻧﻘﻁﻊ ﻣﺪﺩﻫﻤﺎ ﻣﺎﺩﺍﻡ ﺍﻠﻟﻴﻞ ﻭﺍﻟﻧﻬﺎﺭ[51]
“Ada dua kebaikan yang diperoleh wakaf yaitu menghalangi kemiskinan dan memelihara harta dari kesia-siaan. Kebaikan tersebut tidak akan habis selama ada siang dan malam.”
Di samping mengurangi angka kemiskinan, wakaf juga menghindarkan harta dari tindakan mubazir dan sia-sia karena tidak jarang umat Islam memiliki banyak harta yang tak terurus. Dengan menjadikannya sebagai harta wakaf, harta tersebut tidak lagi tersia-sia malahan mendatangkan hasil berupa pahala yang melimpah, Allah berfirman dalam Surat Al-Baqarah: 261,
ã@sW¨B tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムóOßgs9ºuqøBr& ’Îû È@‹Î6y™ «!$# È@sVyJx. >p¬6ym ôMtFu;/Rr& yìö7y™ Ÿ@Î/$uZy™ ’Îû Èe@ä. 7's#ç7/Yß™ èps�($ÏiB 7p¬6ym 3 ª!$#ur ß#Ï軟Òム`yJÏ9 âä!$t±o„ 3 ª!$#ur ììÅ™ºur íOŠÎ=tæ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 261)
Sedangkan menurut Wahbah Zuhailiy, hikmah wakaf adalah,
ﻭﺣﮑﻤﺔ ﺍﻟﻮﻗﻒ ﺃﻭ ﺳﺒﺑﻪ ﻓﻰ ﺍﻠﺪﻨﻳﺎ ﺑﺮ ﺍﻷﺣﺑﺎﺏ ﻭﻓﻰ ﺍﻷﺧﺮﺓ ﺗﺣﺼﻳﻝ ﺍﻠﺜﻮﺍﺏ[52]
“Hikmah wakaf di dunia akan mendatangkan kebaikan dan kasih sayang, serta di akhirat akan memproduksi pahala.”
Sementara itu, Prof. Dr. Masykuri Abdillah dari Badan Wakaf Indonesia (BWI) mengemukakan keutamaan wakaf ini bisa dilihat dari dua sisi yang berbeda. Bagi penerima hasil (mauquf alaih), wakaf akan menebarkan kebaikan kepada pihak yang memperoleh hasil wakaf dan orang yang membutuhkan bantuan, seperti fakir miskin, anak yatim, korban bencana, orang yang tidak punya usaha dan pekerjaan, orang yang berjihad di jalan Allah.[53]
Sedangkan bagi pewakaf (wakif), wakaf merupakan amal kebaikan yang tak akan ada habisnya bagi orang yang berwakaf. Oleh karena itu, barang yang diwakafkan itu tetap utuh sampai kapan pun. Di samping utuh, barang tersebut juga dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan umum, dengan begitu, pahala yang dihasilkan terus mengalir kepada wakif, meskipun ia sudah meninggal dunia. Hal inilah yang membedakan keutamaan wakaf dibanding dengan ibadah lainnya yang sejenis seperti zakat.[54]
Jadi, wakaf adalah jenis ibadah yang istimewa dan utama bagi orang yang beriman dan beramal saleh dimana melaksanakan wakaf bagi seorang muslim merupakan realisasi ibadah kepada Allah melalui harta benda yang dimilikinya, yaitu dengan melepas benda yang dimilikinya (private benefit) untuk kepentingan umum (social benefit).
Ahmad Rofiq menjelaskan bahwa ada beberapa hikmah dan keutamaan wakaf yaitu: wakaf menanamkan sifat zuhud dan melatih menolong kepentigan orang lain; wakaf menghidupkan lembaga-lembaga sosial dan keagamaan demi syi’ar Islam dan keunggulan kaum Muslimin; wakaf menambah kesadaran bahwa di dalam setiap harta benda, meski telah menjadi milik sah tetap mempunyai fungsi sosial; dan wakaf menyadarkan seseorang bahwa kehidupan di akhirat memerlukan persiapan yang cukup. Wakaf adalah tindakan hukum yang menjanjikan pahala yang berkesinambungan.[55]
Selain itu, wakaf juga dapat membantu terlaksananya pembangunan dimana fasilitas-fasilitas umum seperti rumah sakit, sekolah dan pemakaman banyak yang didirikan di atas tanah wakaf atau dibangun dengan harta wakaf. Pembangunan ini sangat membantu pemerintah dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya dan meningkatkan kesejahteraan umum.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa terdapat beberapa hikmah penting ibadah wakaf, sebagai berikut:
1. wakaf dapat membantu orang lain yang membutuhkan bantuan seperti orang lemah atau miskin dalam kehidupannya.
2. amalan wakaf mampu memelihara harta dari sikap mubazir dan habis tanpa arah.
3. wakaf merupakan sumber dana dan sarana menangggulangi kemiskinan demi kemaslahatan umum dan meningkatkan kesejahteraan manusia.
4. bagi wakif, wakaf merupakan sumber limpahan pahala yang mengalir terus menerus walaupun dia sudah meninggal dunia, selama harta itu dimanfaatkan.
5. wakaf merupakan jembatan antara orang kaya dan orang miskin, dimana jika asset wakaf dimanfaatkan secara profesional akan membantu menurunkan angka kemiskinan.
6. wakaf mampu memenuhi kebutuhan akan sarana ibadah dan pendidikan umat Islam.
[1] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Al-Syarhu al-Mumti’ Kitab al-Waqf, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2008), h. 5
[2] Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Cet. ke 4, Jilid III, h. 378
[3] Muhammad Jawad al-Mughniyah, Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Ilmi Li al-Malayin, 1964), h. 301
[4] Abu Louis al-Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1977), Cet ke 2, h. 914
[5] Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damsyik: Dar al-Fikr, 1989), Cet ke 3, Juz IV, h. 242
[6] Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, (Bandung: Dahlan, [t.t]), juz III, h. 87
[7] Syihabuddin al-Qalyubi, Al-Mahalli, (Bandung: Maktabah wa Mathba’ah al-Husaini, [t.t]), Juz III, h. 97
[8] Muhammad bin Ali al-Syaukani, Nail al-Authar, (Beirut: Darul Fikri, 1953), h. 127
[9] Al-Sayyid Sabiq, loc. cit.
[10] Muhammad Jawad al-Mughniyyah, loc. cit.
[11] Suparman Usman, HukumPerwakafan di Indonesia, (Serang: Darul Ulum Press, 1993), h. 24
[12] Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri, Al-Bajuri, (Mesir: Darul Ahya’, 1926), h. 42
[13] Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik pasal 1 ayat (1)
[14] Undang-Undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Team Media, 2005), h. 150
[15] Ibid, h. 164
[16] A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman al-Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 164
[17] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Fikr, [t.th]), Cet ke 2, Juz III, h. 372
[18] Muhammad al-Syaukani, op. cit., h. 129
[19] Muhammad Ali al-Syaukani, Nail al-Authar, (Beirut: Bil Tuba’ah, 1926), h. 127
[20] Al-Syaukani, op, cit., h. 29
[21] Al-Kahlani, op, cit,. h. 87
[22] Abdul Halim, Hukum Perwkafan di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 16
[23] Muhammad Jawad al-Mughniyah, op. cit., h. 305
[24] Al-Bajuri, loc. cit.
[25] Abdul Hamid Hakim, Al-Mu’in al Mubin, (Padang Panjang: Sa’adiyah Putra, 1970), h. 125
[26] Muhammad Dawud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988), h. 80
[27] Wahbah Zuhaily, Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damsyik:
[28] Sayyid Abubakar al-Manshuri, I’anah al-Thalibin, (Bandung: Al-Ma’arif, [t.th]), Juz III, h. 162
[29] Abu Bakar al-Jaziry, Minhaj al-Muslimin, (Beirut: Dar al-Fikr, [t.th]), h. 336
[30] Muhammad Jawad al-Mughniyah, op. cit., h. 312
[31] Said Abu Bakar al-Manshuri, loc, cit.
[32] Ibid.
[33] Al-Sayyid Sabiq, op. cit, h. 382
[34] Said Abu Bakar al-Manshuri, loc, cit.
[35] Al-Sayyid Sabiq, op.cit, h. 381
[36] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Panduan Wakaf Hibah dan Wasiat, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2005), h. 17
[37] Sayyid Sabiq, op. cit., h. 378
[38] Al-Kahlani, op, cit,. h. 87
[39] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, op. cit, h. 29
[40] Ibid.
[41] Ahamad Raffiq, Op. cit., h. 498
[42] Pasal 6 UU No 41 Tahun 2004
[43] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, op. cit., h. 651
[44] Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, (Beirut: Darul Ilmi Li al-Malayin, 1964), h. 323
[45] Jalaluddin al-Mahally, Qaliyubi Wa’amirah, (Mesir: Dar al-Ahya’, [t.th]), Juz III, h. 109
[46] Jalaluddin al-Mahally, op. cit., h. 109
[47] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), h. 20
[48] Muhammad Dawud Ali, Sistem ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988), h. 92-93
[49] Muhammad Ali al-Syaukani, Nail al-Authar, (Beirut: Bil Tuba’ah, 1926), h. 127
[50] Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh, (Jeddah: Al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, [t.th]), h. 199
[51] Ibid, h. 200
[52] Wahbah Zuhaily, op. cit., h. 158
[53] Makalah “Hikmah dan Filosofi Wakaf” oleh Prof. Dr. Masykuri Abdillah di http://www.bw-indonesia Tanggal akses 01 Juni 2009
[54] Ibid.
[55] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), Cet ke 6, h. 487

mami n papi tercinta


aku sayang banget sama ayah dan amak...

2 November 2009

S. HI, besar amanahnya...


5 oktober
alhamdulillah
aku resmi dan berhak menyandang gelar
sarjana hukum islam
namu di balik itu semua
sejatinya amanah besar telah menanti
akankah aku mampu mengembannya
semoga....

ar rayyan 910: enthusiastic 4 advance


berbicara ar rayyan 910 adalah berbicara tentang semangat. betapa tidak ar rayyan 910 ini diisi oleh anak-anak yang cerdas, kritis dan penuh kompetisi. semangat yang sudah menjadi tradisi di kamar ini menular dan merasuk ke dalam jiwaku. aku pun jadi bersemangat untuk belajar apapun.
mereka adalah anak-anak yang unik dengan pribadi yang beragam sehingga aku jadi sayang banget sama mereka. mo tau? nih dia
1. Aditio: sang ketua kamar yang cemerlang. orangnya penyabar dan mudah tersenyum tapi kadang sering salting kalo aku perhatikan. si sulung ini kampungnya di lubuk alung. mengenai prestasi, dia juara kelas. mengenai kepribadian, dia santun banget, disiplin dan tekun beribadah. So, gak salah lagi deh kalo dinobatkan jadi Presiden Ar Rayyan 910.
2. Sani: orangnya kalem benget. gak banyak cincong dan patuh. meskipun begitu dia tetap gemilang prestasinya. rasanya jarang banget kena iqob saking patuhnya. kampung sani di batusangkar dan merupakan cowok blasteran minang batak.
3. Aboy: nama sebenarnya Azhari Sefftri Ilham tapi entah kenapa jadi Aboy. kalo yang ini, heboh banget. gak suka teratur dan usil sehingga kalo berhadapan dengan nya aku merasa jadi makhluk yang paling cerewet. he3. aboy berbadan besar dan tinggi,
4. Iwan: anak seorang sekretaris kecamatan di Padang pariaman. orangnya 'patanang' dan seingat ku gak pernah membantah apa yang aku katakan.
5. Edo: si jenius yang 'mada'. nama lengkapnya alfitra libelnedo, orang tanah datar. aku sering diberi pertanyaan yang luar biasa dan gak disangka2, sehingga memaksaku untuk berkata "kalau itu, iyo ndak tau ustaz do". edo paling susah untuk bangun subuh, ibadahnya juga pas-pasan aja tapi kalo masalah belajar, dia jagonya. penggemar fisika ini pernah membuatku murka tapi bagiku dia tetap istimewa.
6. Ari: orang muaro bungo. anak sulung dari pak umar n. yang pengusaha bengkel itu. badannya kecil tapi tidak sekecil suara dan ulahnya, agak mada juga sih. bagiku dia anak yang lucu, terutama wajahnya.
7. Luthfi KJ: anaknya bikin gemes karena wajah nya imut-imut. rajin puasa dan ibadahnya oke. semangat belajar tinggi tapi prestasi biasa-biasa saja. dia kadang sering membantah apa yang ku katakan.
8. Fikri: kampung fikri di Sijunjung, ciri khasnya suka mengangguk2. he3. fikri penurut dan mandiri(nyuci sendiri dan bangun subuh juga gk payah). puasa juga rajin.
9. Syukra: 'tungga babeleang' yang satu ini adalah pakar matematika di ar rayyan. syukra berasal dari pasaman barat dan aku kenal baik dengan ortunya.
10. Geri: anak ini memiliki suara yang seksi (serak-serak basah). paling sering nanya ini itu sama aku. paling sering menanyakan keadaanku. paling sering demam. paling sering jadi imam. berasal dari dharmasraya. ibunya sudah meninggal. pribadinya tangguh alias tidak cengeng. pernah aku buktikan waktu tangannya patah dulu dan diurut oleh tukang urut, aku aja yang melihat dah ngeri membayangkan rasa sakitnya, tapi dia gak nangis. kuat banget ya.
11. Gani: sekarang gak di asrama lagi karena udah tinggal di rumah ortu. wawasan keagamaannya luas sekali dan dia paling banyak hafalan qurannya sehingga jadi langganan ikut lomba tahfiz.
12. Teguh: termasuk dalam golongan anak-anak yang pintar. badannya kecil. sering juga membuatku murka karena memperlakukanku seperti kawan samo gadang, tapi katanya gak sengaja. akhirnya aku harus memaafkan karena sebenarnya itu tidak terlalu masalah.
13. Luthfiy: akrab dipanggil dengan Lumin (singkatan dari Luthfiy Muhaimin). Ini adalah anak yang paling kalem di ar rayyan. rajin puasa, rajin shalat, rajin tersenyum, rajin diam. bapaknya bekerja di PU dan low profile banget..
14. Firman: firman hidayat nama lengkapnya. anaknya sopan banget dan terkadang sering gugup berhadapan denganku. dia mudah tertidur tapi juga mudah terbangun. aku salut sama anak ini, karena sejak kelas 1 nyuci sendiri.
15. Habib: orangnya berantakan dan tiada hari tanpa terlambat. sebenarnya habib gagah tapi kurang memperhatikan penampilan. kalo masalah olahraga jangan ditanya, habib budiman agung jagonya.
16. Agung; si cerdas panjang aka. agung anak yang cerdas walaupun badanya kecil. kampungnya di LA. anak ini telaten banget kalo membereskan barang-barangnya sehingga sering telat.
17. Valdo: makhluk paling rapi dan bersih di ar rayyan. mulai atas sampai ke bawah rapi banget. saking rapinya, ipal sering terlambat.
18. Ozi; manusia seni. ozi rajin puasa, rajin ibadah. hebat cas cis cus with english. wawasannya luas dan sangat suka dengan ilmu pengetahuan.
19. Windo: suka bagaluik walaupun badannya sudah besar. windo lucu dan terkadang sering melakukan tindakan konyol. dia sering ku sidang sehingga pernah bilang bahwa dia sudah libak 'face to face' denganku. he3 lucu aja.
20. Yogi: berkacamata minus. sangat menjaga penampilan dan suka memberikan senyum manis pada semua orang. anaknya ramah tapi gengsinya tinggi juga. yogi sekarang sudah pindah, gak di asrama lagi.
21: Ivan: pendian dan sering merasa serba salah kalo berbicara dengan ku. anaknya cerdas dan gak macam-macam.
22. randy: anak ini orang kampungku (maninjau). sering mempertanyakan kebijakan yang ku ambil. hal ini menandakan bahwa dia kritis dan cerdas. randi ahli main basket dan juga banyak hafal quran.
23: dede: punya cita-cita jadi programmer. suka browsing. kalo membuat kesalahan , selalu memasang wajah innocent, sehingga aku tambah murka. dede akrab dipanggil teman2 dengan 'ayah' karena dia sudah punya kumis tipis. he3. saat yang paling berat bagi dede adalah saat subuh, karena dia punya hobi tidur.
24. wahyu: sang ketua osis yang kritis. gagah sih tapi agak berantakan. he3.
25: Hanif: anak ar rayyan yang paling unik. cuek, gak pernah merasa bersalah. orangnya termasuk dalam golongan orang2 yang cerdas. suka membaca sampai larut malam sehingga selalu terakhir bangun subuh.
26. fahmi: suka tersenyum manis. tidak pernah membantah kata2ku.
27. Iif: makhluk paling heboh di ar rayyan. paling suka mengkritisi apa yang aku tetapkan, pertanda dia cerdas. suka membuat kegaduhan di kamar. tapi suaranya bagus kalo lagi azan.
28. Awal: pelawak aspa 3. awal termasuk dalam deretan juara kelas. anaknya suka membuat kelucuan apakah itu sikap atau kata2nya. ibadah nya pas2an banget.
29. Ilham. pemilik gigi seksi ini sangat penyantun dan sopan. dia sering membantuku. suka bergelut dengan di ikhwal.
30. ihsan. ihsan berbadan subur dan cukup heboh juga kalo di kamar, tapi dia sering membantu kawan2nya.
31. latif: suka menyendiri dan dan merenung. paling rajin tahajud. kadang agak pemarah dan mudah tersinggung tapi latif punya wawasan yang luas.
32. Ilham BS: badannya berisi karena rajin olahraga. anaknya penyabar dan suka mengalah.
33. Afif: bermata sipit. anak pak Hafulyon, dosen STAIN BAtusangkar. ramah dan sopan seperti ibunya. hobinya olahraga di sinag hari dan tidur di malam hari.
34. Afdal: anak yang punya kreatifitas tinggi dengan segala kekurangannya dia tetap punya semangat untuk maju. patuh tapi kalo bangun subuh susah banget.
35. Dinul: anak dari Pak Edi Ahmad, anggota DPRD pasaman. badannya subur tapi sering puasa. suaranya kenceng banget,,,,,,
36. Cardo: sang juara yang mada. semangat belajarnya tinggi. aku sering cerewet sama richardo jolanda ini karena anaknya usil dan suka maota di musala.
37. Fauzul: hitam manis yang pendiam dan gak banyak tingkah namun prestasi belajarnya oke.

nah itulah anak-anakku tercinta yang membuatku selalu full inspiration. kapan2 kita ulas lebih dalam satu-satu ya,..............

24 Agustus 2009

boekittinggi from the sky

Peta Bukittinggi 2007

makalah tes uraian

BAB I
PENDAHULUAN

Pujian dan kesyukuran hanyalah milik Allah yang telah memberikan nikmat hidup dalam naungan Islam sehingga penulis dapat kesempatan untuk menyelami luasnya lautan ilmu untuk kemajuan diri dan agama. Shalawat dan salam teruntuk kepada Nabi Muhammad Saw sebagai pusat intelegensi dan sumber inspirasi serta ahli edukasi di dunia ini.
Evaluasi pendidikan merupakan bagian urgen dalam proses belajar mengajar karena posisinya sebagai pengukur sejauh mana tujuan pembelajaran tercapai secara bersama-sama oleh guru dan anak didik. Salah satu bentuk evaluasi yang berkembang dan telah dilaksanakan di sekolah-sekolah adalah evaluasi dengan tes uraian.
Tes uraian atau tes subjektif sudah dikenal lama dalam dunia evaluasi pendidikan. Metode ini memiliki banyak kelebihan dan juga ada kekurangannya. Untuk mengetahui hal tersebut, maka penulis akan menyajikannya dalam makalah yang sederhana ini. Semoga bisa didiskusikan lebih lanjut secara bersama-sama.








BAB II
PEMBAHASAN
TES URAIAN (TES SUBYEKTIF)


A. Pengertian Tes uraian
Tes subyektif pada umumnya berbentuk essay examination (uraian), yang merupakan alat penilaian hasil belajar yang paling tua.[1] Secara umum tes uraian ini adalah pertanyaan yang menuntut siswa menjawabnya dalam bentuk menguraikan, menjelaskan, mendiskusikan, membandingkan, menghubungkan pengertian-pengertian, memberikan alasan, dan bentuk lain yang sejenis sesuai dengan tuntutan pertanyaan dengan menggunakan kata-kata dan bahasa sendiri. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa tes ini dituntut kemampuan siswa dalam hal mengekspresikan gagasannya melalui bahasa tulisan dan terutama harus mempunyai daya kreativitas yang tinggi. Dalam hal inilah kekuatan atau kelebihan tes essay dari alat penilain lainnya.
Adapun cirri-ciri pertanyaan dari tes uarain adalah didahului dengan kata-kata seperti : uraikan, jelaskan, mengapa, bagaimana, bandingkan, simpulkan dan sebagainya. Dan soal dalam bentuk tes ini biasanya jumlahnya tidak banyak, hanya sekitar 5-10 buah soal dalam waktu kira-kira 90 s/d 120 menit.
Sejak tahun 1960-an bentuk tes ini banyak ditinggalkan orang karena munculnya bentuk tes obyektif. Dan ada semacam kecenderungan dikalangan para pendidik dan guru untuk kembali menggunakan tes uraian sebagai alat penilain hasil belajar, terutama di perguruan tinggi, disebabkan oleh beberapa hal, antara lain ialah:
a. Adanya gejala menurunnya hasil belajar atau kualitas pendidikan di perguruan tinggi yang salah satu di antaranya berkenaan dengan penggunaan tes objektif.
b. Lemahnya para mahasiswa dalam menggunakan bahasa tulisan sebagai akibat penggunaan tes objektif yang berlebihan.
c. Kurangnya daya analisis para mahasiswa karena terbiasa dengan tes objektif yang memungkin kan mereka main tebak jawaban manakala menghadapi kesulitan dalam menjawabnya.
Kondisi seperti ini sangat menunjang penggunaan tes uaraian di perguruan tinggi akhir-akhir ini dengan harapan dapat meningkatkan kembali kualitas pendidikan di perguruan tinggi. Tes uraian dalam banyak hal ini mempunyai kelebihan daripada tes objektif, terutama dalam hal meningkatkan kemampuan menalar di kalangan mahasiswa dan siswa. Karena melalui tes ini para mahasiswa dapat mengungkapkan aspek kognitif tingkat tinggi seprti analisi – sintesis – evaluasi, baik secara lisan maupun secara tulisan. Siswa juga dibiasakan dengan kemampuan memecahkan masalah (problem solving), mencoba merumuskan hipotesis, menyusun dan mengekspresikan gagasannya, dan menarik kesimpulan dari pemecahan masalah.
Tes uraian ini memiliki kekhususan dalam penggunaannya, yaitu :
1) Apabila jumlah peserta ujian relatif sedikit
2) Apabila waktu penyusunan soal terbatas
3) Biaya dan tenaga untuk mengadakan soal tidak memadai, waktu untuk melakukan pemeriksaan hasil cukup panjang
4) Apabila tujuan tes untuk mengukur kemampuan berfikir analitik, sinetik, dan evaluatif
5) Apabila pendidik ingin mengukur kemampuan dan kekayaan bacaan peserta didik
6) Apabila pendidik ingin melihat kemampuan fantasi dan imajinasi peserta didik.

B. Kelebihan dan Kelemahan Tes Uraian
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kelebihan atau keunggulan tes uraian ini antara lain adalah :
a) Dapat mengukur proses mental yang tinggi atau aspek kognitif tingkat tinggi.
b) Dapat mengembangkan kemampuan berbahasa, baik lisan maupun tulisan, dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa
c) Dapat melatih kemampuan berfikir teratur atau penalaran, yakni berfikir logis, analtis, dan sistematis
d) Mengembangkan keterampilan pemecahan masalah (problem solving)
e) Adanya keuntungan teknis seperti mudah membuat soalnya sehingga tanpa memakan waktu yang lama, guru dapat secara langsung melihat proses berfikir siswa.
Dilain pihak kelemahan atau kekurangan yang terdapat dalam tes ini antara lain adalah :
Ø Kadar validitas dan realibilitas rendah karena sukar diketahui segi-segi mana dari pengetahuan siswa yang betul-betul telah dikuasai
Ø Kurang representatif dalam hal mewakili seluruh skop bahan pelajaran yang akan di tes karena soalnya hanya beberapa saja (terbatas)
Ø Cara memeriksanya banyak dipengaruhi oleh unsure-unsur subyektif
Ø Pemeriksaannya lebih sulit sebab membutuhkan pertimbangan individual lebih banyak dari penilai
Ø Waktu untuk koreksinya lama dan tidak dapat diwakilkan kepada orang lain.
Dan adapun petunjuk penyusunan soal dalam tes ini adalah :
v Hendaknya soal-soal tes dapat meliputi ide-ide pokok dari bahan yang di teskan, dan kalau mungkin disusun soal yang sifatnya komprehensif
v Hendaknya soal tidak mengambil kalimat-kalimat yang disalin langsung dari buku atau catatan
v Pada waktu menyusun, soal-soal itu sudah dilengkapi dengan kunci jawaban serta pedoman penilainnya
v Hendaknya diusahakan agar pertanyaannya bervariasi antara jelaskan, mengapa, bagaimana, seberapa jauh, agar dapat diketahui lebih jauh penguasaan siswa terhadap bahan
v Hendaknya rumusan soal dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dipahami oleh yang akan menjawab
v Hendaknya ditegaskan midel jawaban apa yang dikehendaki oleh penyusun tes. Untuk ini pertanyaan tidak boleh terlalu umum, tetapi harus spesifik.

C. Jenis-jenis tes uraian
1) Uraian bebas
Dalam uraian bebas jawaban siswa tidak dibatasi, bergantung pada pandangan siswa itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh isi pertanyaan uraan bebas sifatnya umum. Contoh pertanyaan bebtuk uraianbebas adalah sebagai berikut:
· Coba saudara jelaskan sebab-sebab terjadinya pertumbuhan penduduk yang cepat?
· Apa yang saudara ketahui tentang NKKBS?
· Mengapa pertumbuhan penduduk berpengaruh terhadap kwalitas hidup manusia?
Melihat karakteristiknya, pertanyaan bentuk uraian bebas ini tepat digunakan apabila bertujuan untuk:
a) Mengungkapkan pandangan para siswa terhadap suatu masalah sehingga dapat diketahui luas dan intensitasnya.
b) Mengupas suatu persoalan yang kemungkinan jawabannya beraneka ragam sehingga tida ada satupun jawaban yang pasti.
c) Mengembangkan daya analisis siswa dalam melihat suatu persolan dari berbagai segi atau dimensinya.
Kelemahan tes ini ialah sukar menilainya karena jawaban siswa bisa berfariasi, sulit menentukan kriterian penilaian sangat subjektif karena bergantung pada guru sebagai penilainya.
2) Uraian terbatas
Dalam bentuk tes ini pertanyaan telah diarahkan kepada hal-hal tertentu atau ada pembatasan tertentu. Pembatasan ini bisa dari segi ruang lingkupnya, sudut pandang menjawabnya dan indicator-indikatornya. Adapun contoh pertanyaan uraian terbatas ini adalah:
v Coba saudara jelaskan tiga faktor pertumbuhan penduduk!
v Apa makna NKKBS ditinjau dari aspek jumlah anak dalam suatu keluarga?
v Bagaimana hubungan pertumbuhan penduduk dengan kwalitas hidup manusia dalam hal ekonomi, pendidikan dan kesehatan?
3) Uraian terstruktur
Soal berstruktur dipandang sebagai bentuk antara soal-soal objektif dan esai. Soal berstruktur merupakan serangkaian soal jawaban singkat sekalipun bersifat terbuka dan bebas menjawabnya. Soal berstruktur berisikan unsure-unsur pengantar soal, seperangkat data,dan serangkaian subsoal.
Keuntungan soal bentuk berstruktrur antara lain ialah :
Satu soal bisa terdiri dari atas beberapa subsoal atau pertanyaan.
Setiap pertanyaan yang diajukan mengacu kepada suatu data tertentu sehingga lebih jelas dan terarah.
Soal-soal berkaitan satu sama lain dan bisa diurutkan berdasarkan tingkat kesulitannya.
Data yang diajukan dalam soal berstruktur bisa berupa angka, tabel, grafik, gambar, bagan, kasus, bacaan tertentu, diagram, model dan lain-lainnya

D. Menyusun Soal Bentuk Uraian
Agar diperoleh soal-soal bentuk uraian yang dikatakan memadai sebagai alat penilaian hasil belajar, hendaknya diperhatikan hal-hal berikut :
1) Dari segi isi yang diukur
Segi yang hendak diukur hendaknya ditentukan secara jelas abilitasnya, misalnya pemahaman konsep, aplikasi suatu konsep, analisis suatu permasalahan, dan aspek kognitif lainnya.
2) Dari segi bahasa
Gunakan bahasa yang baik dan benar sehingga mudah diketahuimakna yang terkandung dalam rumusan pertanyaan. Bahasanya sederhana, singkat, tetapi jelas apa yang ditanyakan. Hindari bahasa yang berbelit-belit membingungkan atau mengecoh siswa.
3) Dari segi teknis penyajian soal
Hendaknya jangan mengulang-ulang pertanyaan terhadap materi yang sama sekalipun untuk abilitas yang berbeda sehingga soal atau pertanyaan yang diajukan lebih komprehensif daripada segi lingkup materinya
4) Dari segi jawaban
Setiap pertanyaan yang hendak diajukan sebaiknya telah ditentukan jawaban yang diharapkan, minimal pokok-pokoknya. Tentukan pula besarnya skor maksimal untuk setiap soal yang dijawab benar dan skor minimal bila menjawab dianggap salah atau kurang memadai.

Mengingat sifat tes uraian lebih mengutamakan kekuatan (power tests), bukan kecepatan (speed tests), maka dalam pelaksanaan tes ini hendaknya diperhatikan hal-hal berikut :
ü Berilah waktu yang cukup kepada siswa untuk mengerjakan soal-soal tersebut. Dengan demikian siswa dapat mengungkapkan jawabannya tanpa terburu-buru.
ü Berikan kemungkinan kepada siswa untuk mengerjakan soal-soal yang mudah terlebih dahulu tanpa harus mengikuti urutan nomor soal.
ü Awasi pengerjaan soal oleh para siswa sehingga mereka bekerja sendiri tanpa bekerja sama dengan siswa lain.
ü Dalam hal tertentu, jika dipandang perlu, berikan soal-soal uraian yang memperbolehkan siswa membuka buku dan catatan pelajarannya. Biasanya soal-soal yang mengungkapkan aplikasi suatu konsep, pemecahan masalah suatu masalah, menarik suatu generalisasi dapat diberikan kepada siswa dengan memperolehkan membuka buku dan catatan lainnya.
ü Setelah semau siswa selesai mengerjakan soal, ada baiknya guru menjelaskan jawaban setiap soal sehingga para siswa mengetahuinya sebagai bahan dan untuk memperkaya pemahaman mereka mengenai bahan atau materi pelajaran.

E. Pemeriksaan, Skoring. dan Penilaian Tes Uraian
Memeriksa jawaban soal-soal uraian tidak semudah tes objektif sekalipun telah ada kunci jawabannya. Setiap jawaban soal uraian harus dibaca seluruhnya sebelum diberi skor sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.
Ada dua cara pemeriksaan jawaban soal uraian yaitu :
o Diperiksa seseorang demi seorang untuk semua soal, kemudian diberi skor.
o Diperiksa nomor demi nomor untuk semua siswa. Artinya diperiksa terlebih dahulu nomor satu untuk semua siswa, kemudian diberi skor, dan setelah selesai baru soal nomor dua dan seterusnya.
Skoring bisa digunakan dalam berbagai bentuk, misalnya skala 1-4 atau 1-10, bahkan bisa pula skala 1-100. Namun, yang paling umum digunakan adalah 1-4 atau 1-10. Dengan demikian, guru tidak memberi angka nol terhadap jawaban yang salah.
Dalam menilai kebenaran jawaban soal-soal bentuk uraian dipertimbangkan beberapa aspek, antara lain adalah :
§ Kebenaran isi sesuai dengan kaidah-kaidah materi yang ditanyakan
§ Sistematika atau uraian logis dari kerangka berfikirnya yang dilihat dari penyajian gagasan jawaban
§ Bahasa yang digunakan dalam mengekspresikan buah pikirannya.
Sistem penilaian yang digunakan untuk soal-soal uraian pada dasarnya sama dengan soal bentuk lainnya, yakni dapat menggunakan penilaian :
a. Penilaian acuan norma, dimana siswa diberi skor tinggi sekalipun jawabannya kurang memuaskan.dan ini bermaksud untuk mendorong motivasi siswa terhadap penggunaan tes uraian dan membiasakan mereka dengan soal bentuk uraian. Dan penggunaan acuan norma yang terus menerus dan berlebihan juga ada kelemahannya, yakni kurang meningkatnya hasil pendidikan.
b. Penilaian acuan patokan, dimana jawaban yang tidak benar dinilai rendah dan kriteria keberhasilan masih jauh dari jangkauan dan bisa menyebabkan kegagalan siswa.




















BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan

Tes uraian adalah pertanyaan yang menuntut siswa menjawab dalam bentuk menguraikan, menjelaskan, mendiskusikan, membandingkan, menghubungkan pengertian-pengertian, memberikan alasan, dan bentuk lain yang sejenis sesuai dengan tuntutan pertanyaan dengan menggunakan kata-kata dan bahasa sendiri.
Tes uraian ini memiliki kekhususan dalam penggunaannya, yaitu : apabila jumlah peserta ujian relatif sedikit, apabila waktu penyusunan soal terbatas, biaya dan tenaga untuk mengadakan soal tidak memadai, waktu untuk melakukan pemeriksaan hasil cukup panjang, apabila tujuan tes untuk mengukur kemampuan berfikir analitik, sinetik, dan evaluatif, apabila pendidik ingin mengukur kemampuan dan kekayaan bacaan peserta didik, dan apabila pendidik ingin melihat kemampuan fantasi dan imajinasi peserta didik.
Tes uraian memilika kelebihan di antaranya: Dapat mengukur proses mental yang tinggi atau aspek kognitif tingkat tinggi, dapat mengembangkan kemampuan berbahasa, baik lisan maupun tulisan, dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa, dapat melatih kemampuan berfikir teratur atau penalaran, yakni berfikir logis, analtis, dan sistematis, mengembangkan keterampilan pemecahan masalah (problem solving), adanya keuntungan teknis seperti mudah membuat soalnya sehingga tanpa memakan waktu yang lama, guru dapat secara langsung melihat proses berfikir siswa.
Selain itu terdapat juga kekurangan dari tes uraian ini yaitu, Kadar validitas dan realibilitas rendah karena sukar diketahui segi-segi mana dari pengetahuan siswa yang betul-betul telah dikuasai, kurang representatif dalam hal mewakili seluruh skop bahan pelajaran yang akan di tes karena soalnya hanya beberapa saja (terbatas), cara memeriksanya banyak dipengaruhi oleh unsure-unsur subyektif, dan pemeriksaannya lebih sulit sebab membutuhkan pertimbangan individual lebih banyak dari penilai.
B. Saran-saran
Makalah sederhana ini memiliki banyak kekurangan dan sangat terbuka untuk didiskusikan kembali secara bersama-sama. Oleh itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca agar bias lebih sempurna.



Daftar Kepustakaan
Arikunto, Suharsini, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 1997
Sudjana, Nana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999
Thoha, Habib, Teknik Evaluasi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996

[1] Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung :PT Remaja Rosdakarya, 1999.h. 35